Kondisi yang seperti inilah yang menyebabkan hubungan antara  laki-laki dan perempuan di Karampuang ini berjalan harmonis. Seimbang, tanpa satu merasa lebih dari yang lainnya. Potensi dominasi  laki-laki atas perempuan yg berkutat di ruang domestik sirna dengan sendirinya. Kaum laki-laki begitu menghargai posisi perempuan dan perannya di ruang domestik, bahkan menganggapnya sebagai kunci dan sumber kehidupan di Karampuang. Â
Sedangkan kalangan perempuan sendiri justru merasa mengemuka derajatnya dengan peran vitalnya di ruang domestik. Apalagi dalam aturan adat, ruang domestik ini semakin dikukuhkan sebagai penentu dengan adanya acara tersendiri yang disebut "Mabbali Sumange" Â yaitu satu acara membuat kue-kue dan makanan tapi merupakan rangkaian ritual adat.
Walhasil, asumsi feminisme Barat, bahwa perempuan dunia ketiga tak berdaya. Lantas kemudian direpetisi perempuan menengah kota Indonesia, bahwa perempuan desa dan lokal adalah pemangku kelemahan, powerless dan mudah dieksploitasi, dengan jelas telah digugat oleh perempuan Karampuang ini. Ungkapan satir nan mengejek dari Spivak (1988): "White men saving brown women from brown men" tampaknya semakin kena tohok dengan kisah para perempuan Karampuang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H