Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sanro dan Perlawanan Perempuan Lokal

20 Desember 2017   21:49 Diperbarui: 12 Desember 2018   11:21 2116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari http://mediacentersinjai.blogspot.co.id

Sementara penghormatan terhadap perempuan berawal dari sejarah awal mula komunitas Karampuang ini. Konon orang yang pertama muncul di daerah ini, yang kemudian dikenal dengan To Manurung Karampulue adalah seorang perempuan. To Manurung inilah yang mula-mula turun di dataran yang pada saat itu masih berbentuk tempurung kelapa karena yang lainnya masih berupa lautan. To Manurung pertama ini pulalah yang berdiam di Karampuang dan menjadi pemimpin di sana. Dari sinilah kemudian sistem adat di Karampuang ini diwarisi oleh generasi selanjutnya.

Penghargaan terhadap kaum perempuan di Karampuang  dengan terang terlihat dalam struktur adatnya. Di antara Ade Eppa, empat pemimpin adat, yaitu Arung atau To Matoa, Gella, Sanro dan Guru  salah satunya mesti harus dijabat oleh perempuan. Itulah Sanro.  

Sebagaimana tiga kedudukan adat yang lain, keberadaan sanro sama agungnya. Dalam keyakinan adat komunitas Karampuang, demikian diungkapkan oleh Puang Tomatoa (Arung) Tola bin Tampa, Ade Eppa itu disebut Eppa Alian Tettenna Anuae (Empat tiang penopang keutuhan negeri).   "Satu untuk empat, empat untuk semuanya", seperti itu kira-kira slogannya. Maka jika satu tidak ada akan berakibat fatal terhadap keutuhan negeri.

Tidak hanya sampai di situ penghargaan terhadap perempuan pun tampak dalam struktur rumah adat mereka.  Pada rumah adat itu simbol-simbol perempuan terlihat menonjol. Misalnya pintu rumah  tidak dari depan atau dari samping tapi dari tengah, ini adalah simbol miliknya wanita yang paling berharga.  

Pintu ini memiliki gembok dari batu, ini bermakna bahwa kehormatan seorang perempuan harus dijaga dan dikunci rapat-rapat sebab kehormatan perempuan di Karampuang adalah simbol dari kehormatan negeri itu. Kemudian di depan pintu itu, ada dua  dapur besar, itu adalah simbol dari buah dada wanita. Pertunjukan vulgar? Sudah barang tentu bukan. Ini justru simbol bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, sebagaimana halnya dapur sebagai sumber kehidupan di rumah. Bukankah ada ujar-ujar "menjaga dapur tetap berasap" yang bermakna, jika dapur hidup, maka rumah tangga masih berjalan tenang. 

Lalu di sudut rumah, di tiang dan di dinding, dengan mencolok mata terlihat hiasan-hiasan kayu yang disebut dengan bate-bate (tanda-tanda). Sekali lagi ini juga merupakan simbol perhiasan bagi kaum wanita.

Selain itu dalam acara Mabahang (musyawarah adat) di Karampuang, keberadaan perempuan sangat diperhitungkan. Sebelum acara Mappasisahung ade'(adu argumentasi) dalam acara mabbahang dilakukan, para kaum perempuan dipimpin oleh Sanro, terlebih dahulu melakukan rapat khusus. Jangan berharap rapat penuh rahasia, sakral dan agung ini bisa diintervensi laki-laki.  Hasil keputusan dari rapat ini kemudian dibawa oleh Sanro ke dalam acara Ma'bahang.

Sedemikian pentingnya suara perempuan dalam tiap acara adat, sehingga menurut Sanro Puang Jenne:

"Tencaji Gaue ko De gaga seddana Makkunrai"nasaba niga elo annasu ko de'gaga makkunrai (Tidak akan jadi acara kalau tidak ada suaranya perempuan, sebab siapa yang akan memasak kalau bukan perempuan)".

Suara Puang Jenne ini setidaknya mewakili perempuan subaltern, bahwa untuk menegakkan kesetaraan perempuan dan laki-laki, seorang perempuan tidak melulu harus mencebur ke dunia publik. Dalam ruang domestik pun suara perempuan, bisa menjadi kekuatan. Perempuan bisa memiliki power dari ruang domestik. 

Konteks ini mengingatkan saya pada seruan Franz Fanon yang dikutip Leela Ghandi (1998), yang dengan lantang menyerukan perempuan dunia ketiga untuk melakukan resistensi dari ruang privat dan ruang domestik. "Tak ada yang bisa diharapkan dari ruang publik untuk menjadi arena perlawanan bagi perempuan dunia ketiga, sebab sudah direngkuh sedemikian kuatnya oleh kolonialisme". Begitu dia bilang. "Satu-satunya arena perlawanan adalah dari dalam ruang domestik itu". Kata Fanon selanjutnya. "Perempuan tinjulah congkaknya dunia dari ruang domestik itu".  Sst...Kalau  kalimat ini dari saya..hehe.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun