"Tadi bu Ahmad negur saya. Kan saya jadi tidak enak."
Nyi Imah makin bingung.
"Sebaiknya Nyi Imah terus terang. Kenapa mesti diomongin lagi?"
"Saya tidak merasa menyampaikan ke bu Ahmad."
"Ke siapa pun orangnya, yang jelas kan sampai ke kuping bu Ahmad. Saya sih tidak enak saja sama bu Siti, karena sebenarnya dia yang membicarakan bu Ahmad seperti itu."
"Bu Siti? Bukannya bu Siti itu yang suka nitipin anaknya ke bu Ahmad, mentang-mentang bu Ahmad jauh dari cucu?"
"Justru itu, kenapa mesti disampaikan lagi? Dia jadi tidak berani lagi nitipin si Ujang."
Nyi Imah tersenyum sinis, "Makanya, saya itu bicara karena kesel, saya sendiri diomongin. Saya hanya bilang, ternyata hidup bertetangga kita ini pada sakit. Di luaran kaya baik-baik. Makan bersama, ngobrol setiap hari tidak ada habisnya, tapi di belakang saling membicarakan. Mending kalau omongannya bener. Kalau salah kan jadi fitnah. Saya hanya kasih contoh saja tentang bu Ahmad."
"Tapi kan saya tidak bilang begitu. Yang bilang begitu kan tetangga dekat teh Gigin, bu Siti itu."
"Ya sudah, bilang saja kalau yang bilang itu dia."
"Ya tidak mungkinlah."