"Gimana urusannya? Sudah beres? Saya sih maunya tetangga kita tidak ribut, apalagi urusan tanah begitu. Jangan sampai teh Imah diomongin. Saya bosan mendengarnya."
"Memang saya suka diomongin?"
"Ya, saya sih tidak akan percaya begitu saja, namanya juga omongan."
"Siapa yang ngomongin saya, teh?"
"Ya, ada. Buat apa diceritakan. Nanti malah jadi perang. Namanya hidup bertetangga. Tidak bisa jaga-jaga mulut, jadi bencana."
"Kok begitu ya? Padahal kan yang saya tahu, kita ini bertetangga sudah lama. Sudah kompak, sudak dekat, bahkan saya berpikir, tidak ada gang yang paling kompak selain gang kita. Kok malah saling ngomongin?"
"Itu dia, namanya juga manusia. Masih ingat kan cerita tentang pertengkaran ceu Darmi sama tetangga saya? Kalau mulut saya ini ember. Mereka sudah habis saling bunuh. Omongan mereka itu loh. Dua-duanya sampai ke saya. Untung saya tidak niat menyampaikan. Berbeda dengan persoalan teh Imah. Persoalan teh Imah kan urusannya berat karena berhubungan dengan tanah."
"Lho, mereka kan sudah baikan sekarang. Ya baikan, di luarnya. Dalamnya, tidak tahu."
"Kok begitu ya. Saya masih ingat, ketika mereka makan rujak satu piring. Terus mulutnya tidak berhenti membicarakan tetangga jauh yang juga musuhnya ceu Darmi. Terus mereka jalan-jalan bareng nonton panggung dangdut dan bernyanyi-nyanyi di mobil sambil tertawa-tawa. Kadang ceu Darmi juga membaca quran di pengajian bareng dia."
"Ya manusia namanya."
"Saya sih heran saja, ternyata di lingkungan kita ini punya penyakit agak parah. Yaitu baik-baik di depan, tapi di belakang membicarakan. Kalau saya yang dibicarakan sih mending. Memang saya begini keadaannya. Tapi kalau Bu Ahmad yang dibicarakan itu aneh. Bu Ahmad kan orang yang baik."