Mohon tunggu...
Iis Suwartini
Iis Suwartini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen PBSI FKIP Universitas Ahmad Dahlan

Iis Suwartini merupakan dosen di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sejak tahun 2014. Mengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini sedang menempuh studi S3 pada jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis aktif menulis kolom opini, cerpen, cerita sejarah dan cerita misteri di beberapa koran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ningrum

1 Juni 2021   10:12 Diperbarui: 1 Juni 2021   10:58 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lewati jalan setapak yang begitu berliku. Kujumpai beberapa orang di sana. Aku sapa dengan senyuman, meski mereka memandang penuh iba. Sudah bukan hal yang asing lagi bagiku, tardisi telah menjadikan mereka seperti itu. Selama belum ada cincin melingkar di jari manis, rasa iba akan terus menghujaniku.

Entah sudah beberapa lama daun telingaku akan tertutup secara otomatis jika suara-suara parau menghalangi jalanku. Aku sudah terlalu lelah mendengarkan mereka berceloteh. Mereka selalu berfikir bahwa aku perempuan yang angkuh tidak membutuhkan pendamping hidup. Andai saja mereka tahu apa yang terjadi, mungkin mereka akan berpikir ribuan kali untuk mencelaku.

Tiba-tiba mataku terbelalak di pelataran rumah terpasang tenda, beberapa orang pun nampak lalu-lalang. Bendera putih seolah menyambut kehadiranku. Beberapa orang menghampiri sambil memelukku. Tubuhku gemetaran, pikiranku semakin tak karuan. Aku  berteriak sejadi-jadinya. Inikah rasanya kehilangan. Samar-samar dari dalam rumah nampak perempuan berbaju putih mulai menghampiriku sambil tersenyum.

“Mengapa ibu nampak begitu bahagia.”

“Masih bisa kurasakan tangan lembutnya  menyentuh tanganku.”

“Ibu memelukku dengan erat sambil berbisik Seruni yang pergi meningalkan kita.”

“Kupeluk tubuh Ibu dengan erat, Kukira ia yang pergi meninggalku.”

Seruni adalah sepupuku dia bunga desa di kampung ini, tidak ada yang tidak tertarik padanya. Tutur katanya santun dan berhati mulia. Aku tidak menyangka ia pergi begitu cepat. Dua tahun yang lalu seorang lelaki kaya raya melamarnya dan menjadi pernikahan termegah di desa. Ibuku kerap memimpikan hal yang serupa terjadi padaku hidup bahagia dengan seorang pengeran. Tapi tidak denganku. Bagiku menjadi perempuan mandiri jauh lebih bahagia.

Setelah menikah Seruni tinggal bersama suaminya di Jakarta. Suaminya merupakan pengusaha kuliner,  tentu dari segi ekonomi Seruni sangat kecukupan. Seruni difasilitasi barang-barang mewah. Ia pun kerap berlibur ke Eropa. Sudah lima tahun menikah dan kehidupannya sangat bahagia seperti di negeri dongeng. Setahun belakangan ini ia tak pernah lagi menghubungiku.

Kuhampiri jenazah Seruni namun baunya begitu menyengat. Ada sedikit kecurigaan menggangu pikiranku. Aku merasa ada yang tak beres. Aku pun memutuskan untuk berbaur dengan para pelayat. Nampak beberapa orang sedang berbincang. Tidak lama suara-suara parau mulai terdengar ditelingaku.

Mesake Seruni, cah ayu-ayu nasipe ngenes.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun