Untung saja ibu Kartini tidak berpikiran seperti ibuku. Aku bisa mengenyam pendidikan tinggi dan mengenal kesetaraan gender. Perempuan yang berpendidikan akan memiliki pola pikir yang lebih baik dalam berumah tangga. Ibu hanya bisa melihat dan mendengar yang ada disekelilingnya. Melihat gadis-gadis desa bergulat dengan wajan bahkan mendengar rumpian yang tidak bermutu bagiku. Tempat perempuan tidak hanya di ruang domestik tetapi juga memiliki peranan di ruang publik. Jika semua perempuan hanya bergulat pada ranah domestik saja mau jadi apa negeri ini.
Para orangtua akan bangga jika memiliki menantu pegawai. Maka mereka akan bercerita tentang menantunya yang bisa membeli rumah, sawah, sapi, dan lain sebagainya. Ibu selalu terdiam dan tertunduk malu. Ibu tidak memiliki keberanian untuk membanggakan anaknya. Sepertinya ibu tidak mempunyai waktu untuk membaca koran ataupun menonton televisi. Ibu tidak pernah tahu betapa hebat anaknya.
“Nduk, kamu sakit?”
“Ya sudah, jaga diri baik-baik jangan lupa minum obat."
Lagi-lagi Ibu mengirim sms dan durhakanya aku enggan membalasnya. Karena Ibu pasti akan memberondongku dengan berbagai pertanyaan yang acap kali menyulut api pertengkaran diantara kita. Kali ini kurasakan malam benar-benar kelam. Entah apa yang terjadi pada diriku, semuanya seolah hampa. Kubentangkan sajadah dan kupanjatkan doa yang selama ini tak pernahku minta. Kuiringi kata yang ku untai dengan linangan airmata. Aku percaya tuhan selalu mendengar doa kita. Selalu ada tiga alternatif jawaban atas doa yang di panjatkan, dikabulkan, diitangguhkan atau diigantikan yang lebih baik.
Pendidikan yang kuimpikan justru tak menjadi impian bagi kebanyakan orang. Menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya tentulah lebih dari cukup. Perempuan itu hebat, ia bisa menciptakan pelangi dari air matanya. Ia pun bisa menyemikan bunga-bunga dimusim kemarau dengan senyumnya. Dunia ini perlu kelembutan perempuan untuk menghadirkan kehidupan
***
Beberapa hari ini bapak kerap menelfonku menceritakan kondisi ibu yang kurang sehat. Aku mulai dihinggapi kekhawatiran yang dalam. Aku pun tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Biar bagaimanapun dialah ibuku meski kami sering berselisih paham. Nampaknya ibu belum paham bahwa zaman sudah berubah emansipasi wanita sudah bukan hal yang tabu lagi. Perempuan cerdas dan berpendidikan tingi kini banyak ditemui, tentu saja untuk mengambil keputusan menikah bagi mereka tidaklah mudah. Sama seperti diriku perlu berulangkali berpikir untuk menjatuhkan pilihan.
“Nduk, bapak mohon sempatkanlah waktumu untuk menjenguk ibu.”
Kalau penyakit ibu karena virus atau bakteri aku tidak perlu cemas, dokter bisa menyembuhkannya. Pagi ini media masa pun memuat berita telah ditemukannya vaksin covid-19 sedikit menguarangi kekhawatiranku selama ini. Tapi kalau penyakitnya karena aku, pastinya aku tak mampu berbuat apa-apa. Virus covid sekalipun tidak lebih berbahaya dari penderitaan, meskipun aku tidak menyangkal banyak korban berjatuhan.
***