Cintaku Tertinggal di Jogjakarta
Rintik hujan senja ini, jatuh di jendela kaca kantor tempatku bekerja, tetesan demi tetesan penuh makna dan menggeliat menggelorakan cinta yang dulu pernah tumbuh, bersemi, dan bermekaran, indah sekali cinta itu, aku terus memandang langit yang berwarna hitam pertanda hujan akan turun semakin deras, aku sandarkan tubuhku ke kursi, aku menerawang masa itu dari lantai 24 tempatku bekerja... ah masa itu.
                                                 ***
Aku duduk di teras kelas, sambil bercerita dengan Aurel sahabatku, menunggu gerimis berhenti, aku malas ke tempat parkir yang letaknya agak jauh dari kelasku, karena harus melewati koridor kelas jurusan lain, entahlah sore ini aku lagi males pulang ke indekos. Aku ingin menikmati hujan di kampus yang sudah menemaniku di empat tahun perjalanan hidupku kuliah di kota Istimewa, ya Jogja yang sangat istimewa.
Senja ini pun aku ingin berbagi kebahagiaan dengan Aurel, kalau judul skripsiku disetujui Bu Diana (Prodi), dan aku sudah mendapatkan nama Dosen yang akan menjadi pendampingku, beliau Pak Irianto, sebuah nama yang penuh kharisma, dan banyak disukai oleh mahasiswi. Banyak yang iri memang denganku, karena aku mendapatkan nama Dia menjadi pendamping skripsiku, kalau aku sih biasa aja, karena baru sekali bertemu beliau, dan pandangan pertamaku tak begitu berkesan.
Senja ini hujan turun sangatlah deras, aku menunggu hujan  reda, dan sahabatku Aurel sore ini tak ada acara ke kampus, jadi aku sendirian di teras kampus dan untuk menghilangkan rasa jenuh, sambil mendengarkan lagu dengan earphone kukeluarkan novel kesayangan, dan tak terasa aku  menggangguk-anggukkan kepala.
Aku bolak-balik novel ini, karena sudah aku lahap semuanya, aku sering menyendiri , jadi kuisi kesendirianku dengan membaca di sela tugas kuliah yang menumpuk.
"Hai Tania..." (aku mendengar ada yang menyapaku pelan, dan dengan suara berat. Aku tak segera menoleh, takut salah dengar saja.
"Hai Tania!" sahutnya dengan suara agak keras (mungkin dikiranya aku tidak mendengar he he he ).
"Ya," jawabku sambil menoleh cepat, dan melepaskan earphone dari telingaku.
"Belum pulang...?" tanyanya sambil duduk di sampingku.
"Belum, masih nunggu hujan reda Pak" lanjutku.
"Kamu bawa motor...?" lanjutnya bertanya, sambil menoleh menunggu jawabanku.
Aku mengangguk. Pria itu lantas duduk disebelahku, berkata jika dia akan menemaniku menanti hujan reda tanpa memberi kesempatan padaku menjawab ya atau tidak. Tidak berapa lama hujanpun reda, aku minta ijin untuk pulang lebih dulu, dan entahlah obrolan singkat ini sangat mengesankan, Dia yang telihat keras di mata mahasisa dan bahkan seakan killer, namun dibalik semua itu, Dia yang sagat ramah dan penuh perhatian.
Malam telah larut, ketika Pak Irianto tiba-tiba menghubungiku, menanyakan apakah tugas skripsiku sudah selesai di bagian abstrak. Dia menawarkan bantuan dan aku dipersilahkan menghubunginya jika mengalami kesulitan. Dengan senang hati dia akan membantu.
Obrolan di aplikasi Whats_App malam itu berlanjut sampai malam-malam berikutnya, Aku semakin merasa nyaman dengan Dia, walaupun aku tak tahu siapa Dia sebenarnya, Â Aku merasa nyaman itu saja yang mmebuat hubungan ini semakin dekat. Selalu ada saja alasan untuk menemuiku atau sekedar menelepon, Aku semakin terpesona dengan perhatian dan tutur katanya.
Seperti malam ini, yang semakin larut bahkan suara jangkrik pun sudah tak terdengar karena sudah lelah  menemaniku malam ini, tapi dia masih saja menelponku, aku terlena dengan buaian kata-katanya, dan akhirnya, Aku mohon ijin kalau Aku sudah mengantuk berat.
Entahlah, apakah ini cinta ataukah rasa penghormatanku kepada Dia, karena Dia Dosen pembimbingku, Aku tak tahu, yang aku rasakann gelora cintaku  membara, walau sudah Aku peringatkan untuk tidak terus bergelora, ah malam ini aku terlelap dengan kebimbangan ku dengan semua ini.
                                          ***
Seringkali dia bercerita tentang beberapa masalah, dan minta pendapatku, aku menjawab dengan apa yang aku tahu dan aku dengar, dia bilang merasa cocok denganku. Aahh aku semakin melayang-layang jauh ke angkasa. Anganku melambung tinggi mengharapkan dia menyatakan cintanya.
Pertemuan demi pertemuan berikutnyapun kami agendakan, Aku semakin terlena dengan kharisma dan bagaimana dia memperlakukanku, seperti sore ini di sebuah kafe dekat Malioboro.
"Tania, bolehkah aku mengutarakan sesuatu...?" pintanya sambil menatapku tajam, dan penuh harap.
"Ya Pak, " jawabku dengan perasaan yang gak karuan.
"Jangan panggil Pak, kalau lagi di luar kampus ya " lanjutnya.
"Baik Mas...." sambil aku balas memandangnya, menatap mata coklatnya yang tajam, seperti mata elang. Melesat menuju jantungku. Sungguh membuat hatiku salah tingkah.
"Maukah kau menjadi bagian dari hidupku...? lanjutnya.
Dugghh ... jantungku berhenti berdetak dan anganku melayang, itu yang aku tunggu selama ini Pak, sebuah kepastian.
"Tidak harus menjawab sekarang yaa..." lanjutnya sambil menyentuh tanganku.
Aku tak tahu harus berkata apa, aku lihat gerimis mulai turun di senja ini, lembayung yang tadi berwarna jingga kini menghitam pertanda turun hujan akan semakin lebat. Aku putuskan untuk bersama saja dulu, dan saling mengenal satu sama lain, baru aku akan menentukan pilihan.
Namun setelah skripsiku kelar, Pak Arianto hilang lenyap bagai tertelan bumi, tak ada kabar apapun nomor teleponnya pun tidak aktif, aku mencari di sepanjang koridor dan lorong kampus, mencari seseorang yang telah mencuri hatiku, yang telah membuat hari-hariku berwarna..
                                ***
Aku yang gelisah dan menunggu yang begitu lama, sampai tiba waktunya wisuda, Aku berharap Dia mengucapkan selamat, setelah Ayah, Bunda dan Abangku pastinya. Menyambut wisuda yang seharusnya menyenangkan, tetapi perasaanku gelisah, Aku melihatnya dia duduk bersama dosen yang lain, di sana.....Aku tersenyum dan hatiku pastinya sangat berbunga, Dia kembali. Sampai acara selesai, aku mau dia menemuiku, Aku tahu dia melihatku ada di barisan wisudawati, Aku tahu namun Dia tak menyapa atau bahkan memandangku. Dia hanya diam dan bercengkerama dengan jajaran tamu.
Ayah, Bunda, dan Abang yang sabar menunggu, sampai acara selesai, Kami bersama ke tempat parkir, dan tak sengaja melihatnya di deretan parkir, Aku mlihatnya dengan seorang wanita, yang sangat anggun dan menggandengnya, mereka terlihat sangat akrab sekali, dan Aku mendekatinya.
"Selamat siang, Â Pak" sapaku sambil menganggukkan kepala.
"Siang Tania, selamat ya kini sudah sarjana," sahutnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Terima kasih Pak...," lanjutku.
"Oh, ya, perkenalkan ini isteriku," lanjutnya sambil menoleh ke perempuan itu agar mengulurkan tangannya.
Duggh, bagai petir di siang hari, Aku terhenyak dan darahku seolah berhenti. Dia yang begitu dekat dengan ku, yang telah menebarkan benih cinta di hatiku, ternyata..... Aku anggukkan kepala, dan segera menghilang dari pandangan mereka, aku sandarkan kepala ini ke bahu Abangku, tak mampu bercerita tentang suasana hatiku saat itu. Sampai akhirnya aku hanya bisa menangis dan menangis.
Malam semakin larut, sudah tak kudengar obrolan indah pengantar tidur. Tak kudengar lagi janji manis laksana sang pangeran yang akan meninabobokan sang permaisuri, Â Aku menjerit dan kembali terisak mengingat semuanya. Sampai aku dengar suara dering dari ponselku dengan nomor yang tidak aku dengar, tiga kali berdering, aku tak mau mengangkatnya karena nomornya yang tidak aku kenal. Dan akhirnya aku angkat. Dan...
"Selamat malam Tania..."
Ah, suara itumirip dengan suara seseorang yang sangat aku kenal.Suara yang menemani malam-malamku.
"Selamat malam juga..." sapaku
"Maaf dengan siapa ini ...? Lanjutku. Semoga bukan penipu yang sering aku dengar untuk meminta kiriman uang atau berita yang mengada-ada.
"Ini aku Pak Arianto. Masih ingatkah?" tanyanya dari seberang telepon.
"Ya, ada yang bisa saya bantu, Pak...?" jawabku setenang mungkin, meski rasa sakit hatiku masih menusuk-nusuk. Kejadian di area parkir kemarin siang masih membayangi pikiranku.
"Tania, maafkan aku ya, Aku tak bisa menghubungimu akhir-akhir ini, ponselku hilang dan kontakmu juga ikut hilang" lanjutnya dengan suara penuh harapan
"Ya, Pak sudah saya  maafkan...."
Aku tahan suaraku jangan sampai Dia tahu kalau aku sedih, sakit, dan berdarah-darah. Aku terluka dan hatiku terisis sembilu, Kau yang menanam, kau yang menyakiti, dan kau yang berjanji dan kau pula yang mengingkari.
"Bisakah Kita bertemu besok sore di kafe dekat  kampus? Aku ingin menjelaskan sesuatu," pintanya
"Mohon maaf, saya tidak bisa, besok pagi saya akan kembali dengan pemberangkatan kereta pagi" jawabku menjelaskan.
"Besok pemberangkatan jam berapa? tanyanya seolah ingin mengantarku.
Aku tepis semua harapan itu, aku harus nelupakannya. Dan akhirnya Aku putuskan untuk segera menutup obrolan malam itu, dan tarik nafas panjang untuk mengurangi kesedihanku, aku tepis bayang itu aku buang jauh, dan aku berharap esok ketika aku bangun Allah sudah menghapus Dia dari khayal dan anganku.
                                   ***
Aku termangu sambil aku lihat tiket di tangan, mungkin ini perjalanan terakhir dari dan ke Jogjakarta, ah jogja yang penuh kenangan manis dan dan sekaligus menyakitkan, Aku buka diary kecil dari tasku, Aku tulis sebuah puisi, 'Cintaku Tertinggal di Jogjakarta', semoga pada suatu hari Aku akan mendapatkan cinta kasih sayang dari seseorang yang tulus mencintaiku.
Suara petugas terdengar, kereta yang sesuai dengan jurusanku akan segera tiba.Aku berjalan perlahan memandang kiri kanan sebagai tanda selamat tinggal. Aku lihat dia memandangku dengan tatapan yang penuh penyesalan. Aku tak mampu menatapnya, aku palingkan wajah tanpa senyuman dan anggukan seolah aku tak melihatnya, aku tak mau luka ini kembali berdarah, aku harus melupakannya. Selamat tinggal Jogja, kutinggalkan cintaku di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H