Setelah kedatangan tamu di sore itu, tidak berapa lama Bapak menikah dengan seorang perempuan yang ada di bagian tamu sore itu.
Mulailah hari-hariku bersama seorang ibu, aku memang manusia biasa apalagi masih remaja. Aku berontak dengan keadaan ku sekarang. Biasanya aku selalu berdua bersama Bapak, makan, nonton tv, dan jalan di sore hari. Kini aku harus berbagi, selalu ada ibuku di kesehariaanku.
Aku marah, aku sedih, dan aku berontak dengan keadaan ini, mulailah aku bermuka masam di depan mereka berdua, tidak mau menurut, tidak mau makan bareng, atau bahkan tidak memperlihatkan batang hidungku di depan mereka, aku mulai main dengan teman-temanku, mulai tidak makan di rumah, atau bahkan aku tidak keluar kamar sama sekali untuk sekedar melihat atau bertemu mereka, Aku tahu mereka khawatir dengan keadaanku, itu terlihat di raut muka Bapak yang selalu merayu aku untuk makan, atau mengajak keluar.
Aku selalu menolak, dan menolak. Aku merasa kalau ibu sudah mengambil Bapak dariku, sudah membuat bapak menjauh dariku, sudah membuat aku menjadi anak yang terlantar, tidak di perhatikan lagi.
Aku mulai tidak betah di rumah, aku hanya main ke rumah teman-temanku, aku tak mengindahkan nasehat orang-orang di sekitarku, aku tak peduli, aku marah dan jengkel.
Karena aku jadi jarang makan, dan pikiranku yang kacau, aku jatuh sakit dan sampai masuk rumah sakit, ketika ibuku melayaniku, memberikan perhatian padaku, aku selalu berontak dan menolak, bahkan aku selalu mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, dengan harapan ibu akan meminta cerai ke Bapak ku.
Karena rasa emosi, sedih yang membuat penyakitku tak kunjung sembuh, maka aku semakin lama tinggal di rumah sakit.
Aku selalu gak peduli dengan perhatian ibuku, rasa benci dan marah jadi satu. Aku lihat Bapak dan Ibuku mulai khawatir dengan kesehatanku yang semakin menurun, Aku lihat guratan sedih di wajah Bapak dan Ibu, mereka selalu menjagaku, apalagi ibuku, dia selalu menjagaku siang dan malam, mulailah hatiku bersahabat, melihat Ibuku selalu dengan sabar melayaniku, selalu diam kalau aku marah atau bahkan membentaknya, aku merasa bersalah sekali.
Apalagi selama aku sakit, dia selalu menemani, menghibur, dan bahkan menyuapiku. pertama aku gak mau, rasa benci yang mengganggu hati dan pikiranku. Tuhan, maafkan aku, ternyata dia sangat baik sekali, walaupun sikapku yang kurang baik pada dia, tapi dia selalu tersenyum dan pancaran matanya sangat menyejukkan sekali.
Dia, tak sedetikpun meninggalkanku ketika sangat marah sekalipun, Tuhan dia begitu baik, tidak pernah membalas sikapku yang tidak baik, dia selalu melayaniku dengan penuh kesabaran dan keibuan.
Dia selalu bertanya,