Sebenarnya agak deg-deg an juga nulis isu ginian. Nanti belum juga dibaca isinya, saya sudah dituduh body shaming duluan.
Tapi semoga ndak lah ya, karena tujuan saya ndak begitu koq, sumprit deh.
Jadi begini...
Memiliki berat badan dan bentuk tubuh ideal tentu saja merupakan dambaan bagi (hampir) setiap mahluk bernama manusia, apalagi bagi kaum perempuan.
Tentu saja ideal yang saya maksud disini bukan njuk harus seperti body nya tante J-lo yang tetap semlohe aduhai meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Bukan pula seperti tante Victoria Beckham binti Spice Girls yang masih ramping meski telah memiliki empat anak yang bahkan sudah pada dewasa.
Seperti diketahui, sekarang ini makin ramai digaungkan bahwa perempuan itu semuanya cantik bagaimanapun bentuk dan ukuran tubuhnya. Mau dia kecil ramping, sedang padet singset, ataupun berbadan besar. Â Pokoknya size is not important, karena kamu cantik cantik dari hatimuuu......
Saya tentu saja mendukung hal itu, apalagi saya juga tipikal yang cenderung mudah menjadi gemuk dan susah melangsing apalagi seiring bertambahnya usia.
Dengan bersandar pada jargon positif itu, saya pun mulai abai dalam menjaga berat badan. Pola makan benar-benar seenak otak, seketika lapar, seketika itu pula makan.Â
Jangan tanya kapan olahraga, karena hanya bermimpi jogging saja sudah mampu membuat saya ngos-ngosan dan njarem di seluruh badan.
Perlahan tapi pasti, tubuh mulai tumbuh ke samping. Meski begitu saya tetap selow dan kalem, karena ya itu tadi, saya amat sangat meyakini bahwa cewek itu kan gak ada yang gak cantik, hiya hiya hiya.
Sampai tibalah pada satu titik dimana saya merasa kurang fit dan mudah lelah. Baju yang biasanya bisa dipakai dengan nyaman pun sudah menunjukkan tanda-tanda menyerah untuk menampung tubuh yang makin melebar.
Dan...byadalaaaa, angka yang tertera cukup membuat saya mengernyit. Sungguh saya tak menyangka kalau berat badan saya bisa menembus angka sekian.
Wah, sampai sekarang pun saya masih merinding kalau mengingat momen itu. Hantaman kenyataan itu akhirnya membawa kesadaran diri bahwa ada yang salah dengan pola hidup yang saya anut selama ini.
Sangat benar bahwasanya saya masih dan akan tetap setuju dengan ajakan mencintai diri sendiri meski bagaimanapun bentuk tubuhmu. Tetapi menjadi perempuan dalam rentang kegemukan menuju obesitas jelas bukan tujuan hidup yang hendak saya capai.
Mengubah pola makan dan menambah porsi olahraga adalah satu-satunya jalan ninja hatori yang harus saya tempuh untuk bisa keluar dari kemelut ini. Apakah mudah?Â
Tentu saja tidak kisanak dan nisanak sekalian. Disiplin dan konsisten adalah koentji. Wis pokokmen seluruh keringat dan air mata tertumpah untuk bisa kembali pada angka normal pada timbangan.
Balik lagi ke inti masalah. Jadi, apakah menurut saya perempuan yang gemuk kemudian menjadi tidak cantik?
Woo, yo tentu saja tidak begitu my dear. Bisa dikepruki para perempuan sesemesta raya tercinta nek saya berani nyebut gitu.
Nganu, sebelum berlanjut izikanlah saya mengutip. Berdasarkan data riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, prevalensi obesitas Indonesia mencapai 21,8%.Â
Angka ini meningkat pesat karena di tahun 2013 hanya 14,8%. Hal yang sama juga terlihat pada kasus kegemukan dari 11,5% di tahun 2013 dan menjadi 13,6% di tahun 2018.
Hal ini menjadikan Indonesia masuk dalam posisi 10 besar kasus obesitas tertinggi di dunia. Wah, jebul negara kita lumangyan berprestasi juga.
Terus bagaimana? Mengenai apakah seseorang masuk dalam kategori kurus, normal, gemuk atau obesitas, banyak pakar yang merujuk pada perhitungan BMI (Body Mass Index). Meski tidak bisa akurat hingga 100%, tetapi pengukuran menggunakan BMI tetap banyak digunakan dan menjadi acuan dasar hingga kini.
Njuk gimana cara menghitungnya? Monggo googling sendiri ya, buanyak koq di internet heuheu.
Berbicara soal kegemukan dan obesitas, sebenarnya hampir semuanya paham akan konsekuensi tidak baik yang timbul. Meningkatnya risiko penyakit A, B, C, D dari skala ringan hingga berat turut mengancam. (Mohon maaf, saya sengaja tidak merincinya daripada nanti dikira sok tahu karena saya bukan dokter manusia).
Dan yang lebih mengejutkan karena ndilalah kita hidup di era pandemi, beberapa hari lalu saya sempat membaca hasil penelitian yang menyebutkan bahwa ada korelasi langsung antara obesitas dan risiko kematian akibat Covid-19.
Saya juga tak mengerti benar tentang korelasi ini. Tetapi dari pengalaman yang saya rasakan, beberapa orang yang saya kenal, yang terinfeksi Covid-19 dan kebetulan obesitas memang sakitnya lebih parah. Bahkan beberapa tidak tertolong.
Ya memang sih bentuk tubuh bukanlah segalanya. Tapi merawat kebugaran tubuh dengan menjaga berat badan dengan makan dan olahraga secukupnya juga sebuah representasi kecintaan kita terhadap diri sendiri. Begitu bukan?
Jangan terbuai dengan dalih tubuhku adalah tubuhku dan aku bangga dengan bentuk tubuhku. Lagian orang yang gak gemuk pun banyak yang mati duluan. Wis mending melipir saya kalau sudah bawa-bawa takdir.
Nah situ enak tinggal nulis doank. Gimana sama nasib orang yang memang sudah ditakdirkan berbadan besar? Hmm..mesti ada yang nggresula gini.
Lha kan sudah tak bilang di awal tadi, saya juga perlu berjuang keras untuk kembali gagah berani menginjak timbangan.
Maka, maemlah secukupnya. Berhentilah makan sebelum perutmu suduken. Kurangi ngemil juga biar cepet sugih. Dan, jangan lupa olahraga rutin sesuai dengan kemampuan masing-masing.Â
Subscribe chanel yutupnya mbak-mbak pakar fitness juga bisa jadi langkah awal. Banyak workout mudah yang bisa diikuti oleh para pemula pemalas olahraga seperti kamu, eh saya ndink.
Saya ingatkan lagi kalau tujuan akhirnya bukan untuk memahat body jadi model Victoria Secret atau pemenang kontes L Men. Tetapi lebih menuju ke proporsi ideal dalam rentang acuan.
Percayalah bahwasanya maem cukupan dan olahraga teratur akan membuat badan kita menjadi lebih rileks dan nyaman.
Nah, kalau memang ada yang ndilalah level obesitasnya sudah di luar kendali untuk bisa ditangani sendiri, ya memang mau gak mau harus minta bantuan ahli. Karena pasti akan ada metode khusus yang harus dilakukan.
Lha mbak trus duitnya dari mana buat konsultasi ke ahli?
Fiuh...yasudahlah, saya tak lanjut olahraga saja kalau begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H