Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana: Jembatan untuk Berteman, Akar untuk Belajar

23 Oktober 2020   21:15 Diperbarui: 23 Oktober 2020   21:17 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angka 12 tahun tentu saja bukan waktu yang singkat. Taruhlah kalau saya modal angon wedhus sepasang yang subur dan ginuk-ginuk, kemudian dipelihara baik-baik dengan pakan yang bernutrisi dan tata manajemen kesehatan hewan yang mumpuni, pasti saya sudah bisa lumayan jadi agak juragan dalam kurun waktu sekian.

Duh kenapa saya pakai analogi angon wedhus ya, hahahaha.

Sebelum mulai rasan-rasan seperti biasa, izinkanlah dengan tulus saya ucapkan selamat ulang tahun untuk Kompasiana yang ke dua belas. Sebuah angka usia yang sedang gemas-gemasnya. 

Semoga Kompasiana akan terus bertambah valuenya dalam hal apa saja, pokoknya yang baik-baik. Semoga kompasiana semakin cerlang cemerlang di kemudian hari, bersinar tiada henti bak matahari menyinari bumi. Yeach rhyme is a must my dear.

***

Kemarin malam saya membaca sebuah tautan artikel kompasiana sewaktu menjelajah laman twitter. Ada sebuah kalimat menggelitik dan membangkitan sentiment nostalgia bagi saya.

Baiklah akan saya nukilkan di sini "...sejarah singkat awal berdirinya Kompasiana yang hanya diisi oleh sekitar 100 artikel setiap hari dengan catatan, yang menulis adalah orang yang itu ke itu juga".

Kalimat itu cukup membuat saya tergelak. Bagaimana tidak? Sepertinya saya ikut menjadi saksi perjalanan waktu tersebut. Apakah saya bagian dari orang yang itu ke itu juga? Hmm tentu saja tidak donk deh.

Saat itu saya hanyalah manusia udik yang baru menjejak ibukota dan tengah bingung mencari kegiatan di tengah waktu senggang. Alhasil, dari hasil selancar bermodalkan telpon genggam dengan koneksi internet yang kecepatannya kalah jika diadu lomba dengan kura-kura yang lari sambil nggayemi, saya menemukan kompasiana.

Awal-awal perkenalan saya hanya menjadi tukang intip belaka, pokoknya saya membaca sangat banyak artikel di kompasiana kala itu. Banyak nama-nama besar yang rutin berkontribusi di awal perjalanan. Dengan alasan itu pula, saya tak punya cukup nyali untuk sekedar mendaftar apalagi menulis.

Beberapa penulis sempat menjadi favorit. Jika saya intip kompasiana, dan kebetulan tulisan baru penulis kesayangan muncul, maka saya akan bersemangat melahap semuanya. Siapakah para penulis itu? Hmm ya pokoknya ada lah, soalnya nanti kalau ada yang kelewat ditulis, saya bisa dipliriki lak an.

***

Tapi siapa sih yang puas hanya dengan mengintip. Awal tahun 2010, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk ikut mendaftar. Apakah saya begitu inginnya menulis di kompasiana? Tentu saja tidak donk deh. Keinginan saya hanya satu, biar bisa ikutan komen. Sesederhana itu saja.

Entah butuh berapa lama menebar komen-komen random di beberapa lapak para penulis, saya pun memulai debut dengan menulis sepanjang kira-kira 100 kata saja. Iya, hanya seuprit kalimat saja, yang kalau dibaca sekarang ini rasanya pingin ngakak sambil ngglundhung guling-guling karena teringat begitu polosnya saya waktu itu. Tentu saja kegiatan menebar komen di hampir semua tulisan yang saya baca terus berlanjut.

Hasilnya? Sedikit demi sedikit saya pun akhirnya "dikenal" para penulis. Dikenal di sini tentu tidak secara harfiah. Masa itu media sosial belum terlalu massif, sehingga tidak terlalu banyak yang menggunakannya. Jadi, banyak dari kami yang dengan percaya dirinya bilang kenal penulis A, B, C karena sudah saling berbalas di kolom komen.

Masa-masa menyenangkan dimana interaksi antara penulis dan pembaca terjalin dengan akrab. Maka tak heran jika kolom komentar justru lebih panjang daripada tulisan itu sendiri.Ada kalanya terjadi diskusi serius terkait topik artikel, tapi lebih seringnya kolom komen beralih fungsi menjadi ruang chat yang bisa diakses setiap kompasianer. Riuh, ramai, menukar canda, saling bully, tapi menyenangkan. Istilah ndesonya, sharing and connecting gitu. Hal seperti ini sepertinya tak akan mungkin kembali terjadi pada kompasiana masa kini.

Sebagian dari sekian "penulis yang itu-itu saja" di masa awal-awal kompasiana justru tidak menampakkan diri sebagaimana di kehidupan nyatanya. Beberapa memilih untuk menjadikannya alter ego.

Namun bedanya, para alter ego ini tidak berhasrat untuk berbuat keburukan, justru menebar kebahagiaan. Tulisan-tulisan renyah yang membuat senyum mengembang ketika dibaca menjadi ciri khas mereka. Dulu bahkan banyak kawan yang  mengira saya anak usia sekolah karena tulisan saya yang sangat kekanak-kanakan. Apalagi dengan profil picture kartun yang semakin menguatkan.

***

Mari kita sudahi ziarah kenangan ini, karena saya jadi agak sedih. Betapa semua sudah berubah dan hampir tak bersisa. Maafkan jika saya terlalu kasar. Tapi kesan yang saya dapatkan sekarang ketika bermain kembali ke rumah sehat ini memang seperti itu.

Para -"kompasianer veteran" ,demikian saya menyebut para penulis jadul di kompasiana-, hampir sudah tidak pernah muncul lagi untuk menulis disini. Tentu saja dengan beragam alasan yang sangat bisa dimaklumi.

Tidak ada yang bisa menafikan, bahwasanya pembangunan apapun bentuknya tentu saja akan ada yang tergusur. Berawal dari maintenance yang cukup panjang, yang seringkali berdampak pada kegagalan log in, membuat satu per satu penghuni mundur perlahan.

Munculnya iklan yang besar-besar dan cukup mendistraksi penglihatan ketika sedang membaca juga turut andil pada orang-orang yang dianugerahi penglihatan rabun seperti saya untuk mundur teratur. Dan ketika proses pengembangan akhirnya selesai dengan baik, dan kompasiana tumbuh besar seperti sekarang, semangat untuk kembali sudah terlanjur padam.

Kompasiana sekarang sudah menjelma menjadi raksasa. Entah berapa ribu member yang sudah bergabung di dalamnya, dan juga berapa ribu tulisan yang terbit setiap harinya. Traffic yang sangat padat tentu saja tidak memungkinkan untuk tiap-tiap anggotanya bertegur sapa.

Apalagi banyaknya event menulis berhadiah yang rutin diselenggarakan cukup mampu untuk menjaring member baru. Meskipun mungkin hanya digunakan untuk menulis sekali saja.

Eh mungkin lho ya, oom tante admin ndak bole marah.

***

Akhirnya, setelah kritikan panjang, tibalah saat yang berbahagia dengan selamat sentosa untuk memberikan kesan terhadap kompasiana yang sedang merayakan hari jadinya.

Bagi saya pribadi, kompasiana adalah jembatan. Sebuah jembatan besar yang menghubungkan saya dengan teman-teman, bahkan temannya teman. Jembatan yang mengantarkan saya menuju banyak tempat dan bertemu dengan lebih banyak orang baik, lingkaran pergaulan yang baik, dan melakukan banyak hal baik. Sungguh, seperti itulah peran kompasiana bagi saya.

Selain itu kompasiana juga adalah akar bagi saya. Akar saya bertumbuh dan belajar menulis. Sebagai orang yang nol bahkan minim pengalaman menulis, sebagai mantan siswa yang sangat tidak menyukai pelajaran Bahasa Indonesia karena ada kegiatan mengarang di dalamnya, kompasiana menyediakan wadah yang kaya nutrisi untuk sebuah akar kecil supaya bertumbuh dengan subur.

Pelan tapi pasti, saya mulai suka menulis setelah menjadi penghuni kompasiana. Meskipun tulisan saya tetap saja ambyar hingga saat ini, tapi jika menilik ke belakang, mau tak mau saya berani berkata bahwa tulisan saya ada sedikit perkembangan. Bahkan saya berani menulis fiksi juga setelah ikut berenang bersama-sama di telaga luas nan teduh bernama kompasiana.

Jadi, sampai kapan pun saya tetap merasa terhubung dan berhutang dengan kompasiana. Bukan hendak melebih-lebihkan, tetapi kompasiana sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup dari saya muda usia hingga paruh baya, dari masih ingusan sampai saya ubanan.

***

Sebagai penutup, perkenankan saya sekali lagi untuk mendoakan yang terbaik bagi masa depan kompasiana. Meskipun hanya mampu menghasilkan satu tulisan per tahun, tetapi saya akan selalu bangga menjadi kompasianer, walau tentu saja levelnya veteran, yang tentu saja uzur dan mulai diserang nyeri punggung.

Dan semoga saja saya mulai malu dengan tersematnya tanda centang biru di halaman profil, sehingga bisa lebih bertanggung jawab untuk bisa berusaha menulis lebih banyak nantinya. Entah kapan, tapi semoga ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun