[caption caption="bebek aja berduaan ...suit suit. Dok.pri"][/caption]Saya itu sedang ndak guyon lho, mbok sumprit saya lagi seriyes pas ngetik judulnya. Njenengan boleh mengira kalau saya lagi mbikin pembelaan bagi kaum marjinal ini, atau njenengan juga sah-sah saja menilai bahwasanya saya adalah golongan manusia yang ndaklegawa, ndak suka liat orang lain bahagia atau apalah-apalah lainnya. Monggo kersa saja sih, wong konon manusia memang akan lebih eksis dan terpandang kalau pandai menghakimi manusia lainnya.
Syahdan cerita bermula dari sini. Jadi, kapan itu pas lagi ngobrol gayeng, tiba-tiba seorang kawan -yang tentu saja tidak jomblo- melontarkan guyonan tentang nelangsanya manusia yang hidupnya menjomblo. Guyonan itu kemudian berkembang liar dan berubah menjadi personal dengan sasaran seonggok mahluk jomblo. Ndilalahnya mahluk itu koq ya bukan saya, tapi teman yang memang pada dasarnya kurang selow dalam segala tindak dan pikiran.
***
Hasil yang didapat tentu saja, teman yang spanengan ini jadi tersinggung. Meski tak diwujudkan dalam sebuah ekspresi kemurkaan ala ormas pembuat onar, tapi dari bahasa tubuhnya yang tiba-tiba menciut, alis berkerut dan bibir mengerucut maka bisa dipastikan ia sedang marah. Meski begitu rombongan perisak yang sensitivitas perasaannya rendah ini tetap saja saur manuk bersahutan, karena mereka memang terlalu mendalami ajaran Descartes, aku membully maka aku ada.
Demi menjaga stabilitas obrolan, akhirnya saya pun mengambil inisiatif. Bagaimanapun juga guyonan itu sudah tidak lucu lagi. Maka dengan olah nafas yang cukup dan prosesi ambil nada agar suara terdengar seksi namun tetap berwibawa, saya pun berkata.
***
“Tenang mbak mas, ndak usah rebutan. Semua akan Jomblo pada waktunya koq”
Sesaat, suasana hening sejenak. Kemudian salah satu anggota rombongan perisak bertanya “Maksudnya gimana tu?”
“Ya, maksudnya suatu saat nanti, akan tiba masanya bagi njenengan yang selama ini berbahagia karena memiliki pasangan menjadi sendirian alias menjadi jomblo”
“Koq bisa? Maksudnya Pisah? Cerai?”
Aduh mas mbak, kenapa jadi panic attack gitu to, ini lak cuma hal sederhana saja sakjane. Batin saya sambil mbayangin minum es degan rasa heroin.
“Yo ndak gitu juga sih” jawab saya kemudian
“Terus piye?”
“Pisah atau cerai kan lebih banyak karena campur tangan kita, manusia. Tapi ada satu keniscayaan yang ndak bisa dihindari mahluk hidup. Kematian”
***
Deziinggg…ruangan pun hening. Padahal sumprit, sakjane ndak ada niat seujung upilpun untuk membuat suasana canda ini berubah menjadi cekaman horror. Namun hal ini jadi momentum yang pas buat saya untuk kembali macak jadi wong bener. Daripada sepi, ya saya lanjutin lagi
“ Lha iya lah, wong urip itu kan mesti harus mati. Ndak peduli dia sudah punya pasangan atau tidak. Ndak peduli dia lagi bahagia bersama anak bojo atau sedang ngenes karena jomblo dan dibully temannya. Jadi, semua mahluk tak jomblo di dunia ini, suatu waktu nanti pasti bakal jadi jomblo. Entah njenengan duluan, atau pasangan duluan. Sudah siap kan gabung sama kaum jomblo nantinya?” ular-ular itu terpaksa saya utarakan, biar seonggok teman jomblo saya yang sudah kadung kempes bisa bungah kembali, dan tentunya sekaligus pledoi buat saya hahaha.
***
Di negara kita, tradisi pembullyan kaum jomblo memang sudah berlangsung lama dan kian marak dari hari ke hari. Terkadang hal ini memang lucu dan seru jika saja kita mengerti betul siapa dan bagaimana karakter manusia yang hendak dipojokkan. Saya sebenarnya heran, kenapa sih para non jomblo begitu semangat dan berbangga kalau berhasil menjatuhkan harkat dan martabat jomblo sampai sendlosor-ndlosornya.
Padahal bila ditelaah lebih jauh berdasar kajian ilmiah mbelgedez, sebenarnya apa salah jomblo coba? sepertinya koq mereka itu melakukan perbuatan tidak baik dan dosanya melampaui level para pelaku rasuah yang sudah menggondol bermilyar-milyar uang negara hingga pantas dicaci dan dihinakan hingga seluruh negeri.
***
Ah sudahlah, saya tak ingin perbandingan yang ndak apple to apple ini semakin ngglundhung tak tentu arah. Tapi mungkin ada beberapa info yang bisa saya sampaikan bahwasanya jadi Jomblo itu ndak melulu -seperti yang selalu dituduhkan- nelangsa hidupnya. Banyak sekali di luar sana para jomblo berprestasi yang memiliki hati yang keberadaannya bermanfaat bagi kemaslahatan. Ndak usah saya sebutkan satu-satu apa, siapa dan bagaimana. Sekali-kali mbok ya njenengan itu kepo mencari kebaikan, jangan melulu keborokan orang lain.
Keberadaan mahluk jomblo juga tidak selalu disebabkan karena tidak laku. Banyak diantara mereka yang memilih jalan hidup itu secara sadar sebagai sebuah pilihan hidup. Memang sifatnya lebih temporer, karena di waktu yang tepat nanti mereka mungkin akan bertemu dengan pasangannya atau memutuskan untuk menemukan orang lain sebagai pasangannya. Jadi stereotype jomblo itu mahluk yang teralienasi karena ndak laku, tolong disingkirkan dari otak besar dan kecil njenengan.
***
Sebagai mahluk yang siklus hidupnya selalu bertemu dengan orang lain, mbok ya mohon dengan sangat kalau guyon itu ngerti wayah lan panggonan, tahu tempat dan waktu. Tidak semua orang akan tertawa dengan sebuah materi komedi yang sama. Salah-salah nanti njenengan malah didakwa melakukan perbuatan tidak mengenyangkan dan tidak menyenangkan.
Mendadak saya ingat satu lagi curcolan kawan. Dia yang biasanya setrong menghadapi bullyan jombloisme, kapan itu mendadak lunglai. Mungkin saja karena kondisi sedang drop, mood sedang jatuh dan penat menghujat. Padahal bullyan itu cuma di dunia maya, namun efeknya terasa menembus jiwa raga. Tapi setelah melihat jenis candaannya yang sempat disekrinsyut, saya pun cuma bisa mantuk-mantuk. Memang ya, jempol manusia itu seringkali lebih nggegirisi dari pedang milik pendekar terkenal. Karena manusia tak berujud di dunia maya, maka mereka merasa sah-sah saja untuk terus menyakiti liyan. Mumpung gak ketemu muka.
***
Akhirnya, semua harus saya akhiri dengan satu pesan. Bahwa semua akan jomblo pada waktunya. Ndak usah dhisik-dhisikan, semua ada yang ngatur. Gusti Allah Maha Tahu, mana yang akan dianugerahi status jomblo selanjutnya. Makanya persiapkan mental dari sekarang, mental untuk hidup sorangan. Mungkin saja njenengan yang giliran berikutnya, atau malah njenengan. Hmm ..yang pasti sepertinya bukan saya sih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H