Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan. Entah apa jadinya kalau bukan dia yang bekerja di sana. Aku tidak yakin orang lain akan bertahan sekuat itu, termasuk aku.
Setiap ada pertemuan selalunya ada perpisahan. Kita dihidupkan memang untuk mati, artinya segala kesenangan pasti memiliki batasan. Persahabatanku dengan Mbak Maya memang sudah berakhir di Wuri.Â
Tetapi persahabatan kami lewat ruang maya masih berlanjut hingga detik ini. Satu tahun terlewati, rasanya baru kemarin aku makan humberger dengan segelas coca-cola yang kemudian aku bungkus juga untuknya makan.Â
Rasanya baru kemarin ia pergi medikal dan memberiku dua buah telur asin untukku makan. Rasanya baru kemarin aku berlari-lari di bawah senja dengan keindahan jingga untuk mengambil ayam goreng yang ia belikan. Dan rasanya baru kemarin di bawah hujan kupesankan ayam bakar dari toko Indonesia di pertemuan terakhirku dengannya.
Senja di hari itu, dengan jingga yang bersembunyi dari balik awan, dengan gerimis yang turun membasahi tanah Wuri. Kami, orang-orang kurang beruntung yang berpijak di negara asing. Orang-orang yang lebih nyaman diam daripada melawan.Â
Senja yang tak jingga itu menjadi kali terakhir aku bertatap muka dengan sahabat baikku. Pelukan demi pelukan mengantarkan kami pada perpisahan. Aku mengajaknya untuk berani memperjuangkan hak-haknya.
 Perihal gajinya yang dipotong untuk membeli sarapan, itu kesalahan yang sangat nyata untuk dilaporkan. Tetapi ia masih saja sama. Ia kukuh mengalah dalam diam. Ia tak mau memperjuangkan hak-haknya karena takut dengan keadaan.Â
Keadaan dimana ejensi sama sekali tak memihaknya. Keadaan dimana tak ada orang yang mendukung apalagi membantunya. Keadaan dimana satu-satunya sahabat malah pergi meninggalkannya. Ia masih sendiri dengan bersandar pada kasih Tuhannya. Melalui hari demi hari dengan mengulum luka demi luka yang menganga di hatinya.Â
Keserakahan para ejensi dan majikan masih menyebar rata di atas tanah Formosa. Masih banyak kawan-kawan kami yang dipaksa bekerja di luar perjanjian kontrak. Masih banyak kawan-kawan kami yang memilih diam di rumah luka karena kalah dengan kelicikan mereka.Â
Tak sedikit juga dari kami yang memilih kabur dari sana, kemudian dicap begitu buruk oleh semua mata. Padahal pokok permasalahan kebanyakan adalah dari ejensi dan majikan yang memperlakukan kami semena-mena. Hidup itu memang sebuah perjalanan.Â
Perjalanan untuk diam atau melawan. Perjalanan untuk maju atau mundur. Perjalanan untuk kalah atau menang. Senja demi senja yang kutatap setelah kemenanganku keluar dari ejensi dan majikan gila itu nampak lebih indah dari biasanya. Sedang senja yang ia tatap dalam rumah luka itu masih tetap sama tak berwarna, senja yang tak menjingga.Â