Setelah bertegur sapa sebentar, aku kembali melanjutkan olahraga kecilku dengan kakek. Dalam benak aku berpikir, dari raut wajahnya, sepertinya dia sudah lama bekerja di sini. Terlihat tegas dan tidak canggung. Tapi ternyata pemikiranku salah.Â
Pada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, dia memberiku nomer telepon dan bercerita bahwa ia baru setahun lebih di sini. Persepsiku pada pertemuan pertama yang kukira majikannya baik ternyata salah total.Â
Justru ia sangat tertekan, nenek yang ia jaga sangat kasar dan cerewet. Ia tidak boleh keluar rumah membeli sesuatu. Bahkan neneknya pernah memakinya habis-habisan saat ia ketahuan salat.
Fase ini merupakan fase terberat kami sebagai pejuang devisa yang bekerja di negara non muslim. Dalam kesibukan kerja sehari-hari dengan waktu istirahat yang minim sekali, masih banyak majikan yang tidak memperbolehkan kami untuk salat apalagi puasa.Â
Alasan-alasan mereka tak jauh-jauh perihal ketentuan agama mereka di rumah yang tidak suka apabila ada unsur agama lain di dalamnya. Lalu, bukankah mereka tahu bahwa mayoritas orang Indonesia beragama muslim?Â
Lantas mengapa mereka tidak mengizinkan kami untuk menyembah Tuhan kami dengan cara kami, seperti mereka menyembah Tuhan mereka dengan cara mereka? Kenapa nilai-nilai kemanusiaan bisa kalah dengan arogansi dan egoisme semata? Kenapa kebanyakan dari mereka berpikir, bahwa harga diri kami bisa digadaikan dengan perjanjian kerja?
Semakin lama kami semakin sering memberi pesan sekedar berbagi keluh kesah karena tekanan dari majikan kami masing-masing. Aku jadi tahu, teman pertama serta temanku satu-satunya di sini itu bernama Maya Az-zahra. Nama yang cantik, sepadan dengan karakternya yang sabar dan ikhlas.Â
Wajahnya bulat, tenang dan teduh. Rambutnya hitam pendek. Dalam kesedihan hati, ia masih sempat menyunggingkan senyum setiap kali bertemu denganku. Seperti senyum tulus seorang kakak untuk adiknya, sangat menyejukkan.Â
Mbak Maya bercerita bahwa dia tidak mendapat keadilan di rumah itu. Jam istirahatnya kurang serta gajinya sering dipotong untuk membeli sarapan. Padahal semestinya, uang makan tiga kali sehari itu adalah tanggung jawab daripada majikan.
Seperti yang aku katakan, kebanyakan rumah yang kami singgahi adalah rumah luka, yang di dalamnya ada airmata kami yang dibayar dengan kontrak kerja. Menyedihkan!
Di belakang komplek rumah Mbak Maya adalah rumah tempatku tinggal. Rumah lantai tiga yang sangat sempit dengan barang-barang aneh yang menumpuk di sana sini menjadi pemandangan yang setiap waktu tersantap kedua mataku. Lantai tiga merupakan gudang sekaligus tempat melukis majikanku yang merupakan seorang guru kesenian.Â