Lantai dua adalah kamarnya dengan satu kamar lagi untuk kakaknya jika mudik dari Taipei. Dan lantai satu adalah ruang tamu kecil yang disulap menjadi tempat tidur kakek, ruang televisi dan dapur. Sedang aku, aku tidur di sofa panjang di depan televisi. Kondisi seperti ini membuatku jarang istirahat cukup apalagi tidur nyenyak.Â
Suara bising majikanku saat pulang mengajar membuatku selalu terjaga hingga larut malam. Yang lebih parah, majikanku adalah manusia yang terkenal temperamental.Â
Ia seorang wanita single yang tidak menikah. Kesehariannya hanya marah-marah tidak jelas baik terhadapku maupun ayahnya sendiri. Kondisi rumah ini tak beda jauh dengan rumah dimana Mbak Maya tinggal, menyedihkan!
"Sudah enam orang lho, Neng. Yang keluar dari rumah majikanmu. Dua diantaranya memilih pulang ke Indonesia karena tidak diizinkan pindah. Kamu yang ke-tujuh, dan itu belum setahun."
"Hahh? Separah itukah?" Aku terkejut bukan main mendengar pengakuan Mbak Maya.
"Iya, orang majikanmu itu kurang waras. Yang sabar saja, ya."Â
"Iya, Mbak. Memang benar, dia itu seperti punya kelainan, tingkat emosinya di atas rata-rata." Jelasku.
Satu-satunya orang yang membuatku bertahan dengan keadaan ini adalah Mbak Maya. Sejenak aku merenung, keadaan seperti tak sekali dua kali kurasakan. Setiap kali dalam kesusahan, kesedihan, selalunya pasti Tuhan memberikan sahabat yang membuat aku berat memilih pergi.
 Kedekatanku dengan Mbak Maya memberiku kekuatan untuk tetap tinggal. Saat majikanku pergi, aku menyempatkan diri keluar membeli makan. Tak pernah lupa aku bawakan makanan juga untuk Mbak Maya.Â
Betapa senangnya dia, karena sejauh ini dia tak pernah diizinkan keluar walau sebentar oleh neneknya. Makanan yang ia makan hanya apa yang disediakan oleh keluarga majikannya.Â
Pernah satu kali dia izin membeli ayam goreng di perempatan jalan untuk kami berdua. Saat pulang neneknya marah besar. Sampai sekarang ia tak diizinkan lagi untuk keluar.Â