"Aku bisa pindah kapanpun aku mau. Tapi.."
"Kenapa?"
"Aku masih punya hati."Â
"Harapannya memang hanya kamu. Tidak ada orang lain yang bisa dia harapkan selain ketulusan hatimu. Orang sini jarang yang mau mengurus orangtuanya sendiri. Dengan alasan sibuk mereka melempar semua tanggungjawab kepadamu. Dan parahnya, mereka merasa itu wajar, karena mereka membayarmu setiap bulan."
Aku menunduk diam. Di kali kedua dia datang melihatku, obrolan kami semakin dalam. Menjurus ke sesuatu hal yang tak pernah aku pikirkan. Pernikahan? Benar. Dia membahas pernikahan. Di sini, di Taiwan.
Dia mengajak untuk menikah di Mushola organisasi keagamaan kami berkembang. Dia ingin hubungan yang diridhoi Tuhan. Dia tidak mau pacaran. Dia tidak peduli darimana asal keluargaku. Dia inginkan masa depanku bersamanya.
Sejauh ini, orangtuanya belum mengizinkan ia untuk menikah. Mereka selalu menekankan ia untuk bekerja dan terus bekerja. Sementara usianya sudah semakin dewasa. Dia ingin memiliki istri dan anak-anak yang lucu. Ah, benar-benar komitmen yang indah, bukan?
Tapi,..
Dua bulan berikutnya kami ada kesalahpahaman. Saat aku ingin sekali bertemu dengannya, dia lebih memilih teman-teman satu pencak silatnya. Hatiku merasa tersisihkan. Kami tidak komunikasi sesering dulu. Aku memilih diam dan sendiri. Sedang dia selalu fokus dengan materi-materi latihannya yang semakin menumpuk. Aku sadari, dia memang pemuda yang berkomitmen kuat.
Dia pernah berkata bahwa dalam latihan dilarang keras berhubungan dengan wanita, begitupun sebaliknya. Dia sudah masuk sabuk hijau. Saatnya dia menepati ucapannya. Dia menjauh dariku. Benar-benar menjaga jarak denganku. Aku yang terbiasa dengan hadirnya, semakin merasa kehilangan. Menatap boneka-boneka kecil darinya hatiku semakin rindu. Wangi parfum itu.
 Aku bertahan sekuat hati. Menyibukkan diri dengan mencari hal yang positive. Aku bertekad masuk pencak silat juga. Tetapi beda perguruan dengannya. Aku ingin bisa sekuat dia dalam berkomitmen. Aku ingin bisa setekun dan sefokus dia dalam mengejar impiannya. Berbulan-bulan kami sibuk di masing-masing perguruan. Tanpa saling memberi kabar. Hingga ingatanku tentangnya perlahan tersisihkan. Dibayar oleh kesibukan.