Dia menatapku sungkan.Â
"Anak Syekhermania ya, Mas?" Kuulangi pertanyaanku.
"Oh, iya, Mbak." Dia menjawab singkat. Menoleh sebentar lalu menunduk lagi.
Kami berjalan beriringan. Aku berusaha menyejajarkan langkahku dengannya yang terburu-buru. Hingga turun ke lantai dasar, kami disibukkan oleh lalu-lalang orang-orang. Stasiun selalu penuh di akhir weekend. Orang-orang Taiwan, para pekerja migran dari berbagai negara keluar untuk liburan.Â
"Besok ada pengajian di taman, apa kamu tidak hadir?"
"Insya Allah saya hadir, kalau sempat. Bagaimana denganmu?"
"Insya Allah, sayapun hadir. Saya tugas Banser besok."
"Mbak, anggota Banser?"
Pemuda pendiam itu, ia sempat datang dua kali ke rumah sakit. Membawa boneka winny the pooh yang lucu sekali. Teman hari-hari payahku disana. Ia melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana pekerjaanku saat itu. Lelah, sangat melelahkan. Berkali-kali dia melihatku menyedot dahak pasienku yang tak kunjung habis.
Ya, kondisi paru-parunya sudah rusak. Dahak itu selalu keluar setiap waktu. Selang sedot dahak yang berjumlah seratus buah satu paket bisa habis dalam seminggu. Dan itu kulakukan sendiri setiap hari. Hanya di waktu malam, suster meembantuku agar aku bisa istirahat.
"Kenapa kamu tidak pindah saja? Kamu terlihat letih sekali dengan pekerjaan ini."