Raut wajahnya menyembunyikan banyak kegalauan, sorot matanya menyembunyikan banyak kesedihan, tapi satu yang membuatku salut kepadanya, dia berusaha bersikap tegar.Â
Pelan-pelan aku mengintip wajahnya dari belakang Mas Yogi, wajah yang dulu suka aku pandangi saat kami video call sepanjang malam. Wajah itu sangat berbeda. Kali ini sangat bersih. Tubuhnya pun terlihat segar. Jujur, aku sangat senang melihatnya.Â
Sekitar lima belas menit, Mas Yogi mempersilahkan aku untuk bicara dengannya. Kami bertukar tempat duduk dan dapat kulihat dengan jelas wajah tampan dengan mata sipit yang selalu temaniku dalam dua bulan terakhir ini.Â
Mata itu, mata sipit itu sungkan untuk menatapku. Dia hanya bicara dengan nada suara pelan sembari menunduk, terkadang mengalihkan pandangan kesana kemari. Sementara aku, aku sudah bisa mengontrol hatiku untuk tidak mengeluarkan airmata di depannya.
"Apa kabar?" Dia memulai pembicaraan kami dengan pandangan menunduk, senyum tipis keluar dari bibirnya. Manis sekali.
"Alhamdulillah, baik."
"Datang dengan siapa?"
"Mas Andi. Dia menunggu di luar. Apa sudah ada kabar kapan akan pulang?"
"Belum. Kemungkinan masih lama. Baru juga tiga minggu."
"Sabar. Jangan tinggalin sholat, ya."
"Iya. Tadi baru sholat dzuhur."