"Ingat kawan, perempuan yang kau cintai mungkin bisa meninggalkanmu. Tetapi saudara tidak akan pernah meninggalkan saudaranya dalam keadaan seperti apa pun. Aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu dalam kondisi seburuk apa pun. Aku akan merawatmu sampai kamu sembuh. Asalkan satu, kamu ada niat untuk berubah."Â
Sebuah pesan singkat kukirim di kontak Line miliknya. Dia membalas dengan menyebut asma Allah beserta dua stiker menangis sebagai balasan. Di akhir chatt itu terselip sebuah kalimat, "Terima kasih atas kepedulianmu." Aku tersenyum kecil.Â
Kupikir ikhtiarku untuk menariknya dari pergaulan bebas mulai menampakkan hasil. Kupikir seberapa keras batu di hatinya pasti akan meleleh dengan dorongan kata-kata yang positive.Â
Semua itu kulakukan karena aku yakin. Aku yakin di hatinya yang keras masih ada iman yang begitu kuat. Masih ada kesadaran bahwa dia hamba Allah. Masih ada celah agar ia bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarganya.
"Mulai dari nol. Tinggalkan semua kebiasaan burukmu. Tinggalkan teman-temanmu. Untuk berubah kau butuh hijrah. Kau harus meninggalkan mereka yang selama ini kau ikuti kemana pun mereka pergi. Ikutlah denganku di sini. Aku akan merawatmu sampai kamu sembuh. Aku janji, aku tidak akan mengikatmu dengan alasan apa pun. Aku hanya ingin kamu sembuh dan mulai dari nol lagi untuk bekerja sebaik mungkin." Ratapku padanya.
Aku mendapat jatah menjenguk tepat jam 2 siang. Bersama Mas Yogi, sahabat baiknya, aku masuk ke dalam gedung tinggi yang berada di atas bukit Sanxia. Gedung yang ditakuti oleh semua TKI swasta.Â
Satu persatu barang bawaan kami diperiksa. Aku melihat sekitar delapan orang berpakaian yang sama keluar dari lantai atas. Mataku tak sengaja menangkap salah seorang yang melambaikan tangan ke arah kami.Â
Hatiku bergetar, aku tak berani menengok ke arahnya. Hanya Mas Yogi yang merespon sapaan bahagia darinya. Ya, dialah pemuda yang sepekan ini aku tangisi kelenyapannya.Â
Dialah teman baik yang telah menjadi sahabatku sebelum ia tertangkap. Dia pemuda yang selama tiga tahun ini mengais rezeki sembari kejar-kejaran dengan para polisi.Â
Dia yang sudah kabur dari pekerjaan legalnya karena ketidakadilan yang ia terima. Inilah Formosa, tidak semua dari kami mendapatkan keadilan yang sama, hingga jalan pintas yang penuh resiko pun kami tempuh tanpa ragu.
Setelah menyerahkan Id Card dan No.Hp, kami duduk di depan sahabatku yang sudah menunggu kami dari balik kaca. Aku meminta Mas Yogi untuk bicara di urutan pertama, sedang aku menyaksikan pertemuan dua sahabat itu dengan linang airmata. Aku sangat tahu bahwa sahabatku sangat merindukan Mas Yogi, sahabat baiknya selama ini.Â