Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muara Hati Sang Novelis, Formosa (Part 1)

6 Desember 2019   07:08 Diperbarui: 6 Desember 2019   07:17 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar pribadi

"Hassbunallaah Wa Ni'mal Wakiil..." Kuucap lantunan ayat-ayat suci agar hatiku tenang. Kupuji nama Allah Swt, agar aku selalu dalam naungan-Nya. Terasa di dasar hatiku, bahwa sebentar lagi aku bisa keluar. Dan, ya, aku berhasil menemukan pintu keluar untuk menuju ke perhentian bis.

"Allaahu Akbaar..." Kukira ujianku telah usai. Ternyata belum. Tuhan masih amat menyayangiku. Aku melihat ongkos bis dari bandara menuju Yau Ma Tei, tempat tinggalku sekitar HKD. 40.00. Aku tersentak bukan main. Aku lupa tidak membawa uang koin, yang tertinggal di dalam dompetku hanya dua lembar uang seratus ribuan. Aku bodoh, benar-benar bodoh.

Tak terbesit di dalam otakku untuk menyimpan dollar Hongkong. Aku terlalu percaya diri dengan harapan Bossku-lah yang akan menjemputku di sana. Padahal, aku dibiarkannya begitu saja. Aku nyaris putus asa. Akan tetapi, Tuhan benar-benar sayang padaku. Aku membuka saku kecil di tasku. Di dalamnya banyak sekali uang koin yang aku sendiri lupa, kapan aku menyimpannya. 

Nominalnya sangat kecil. Antara lima dan sepuluh sen. Uang-uang koin itu aku masukkan satu persatu ke dalam lubang koin yang berada di samping Pak Supir. Kulihat Pak Supir agak geram melihatku. Tapi aku tak menghiraukannya. Uang koin itu habis. Telapak tanganku kosong. Jumlah keseluruhannya genap HKD. 40.00. Tidak kurang dan tidak lebih.

Aku mencari tempat duduk dan bernapas dengan tenang. Uang-uang koin yang tak sengaja tersimpan di saku tas itu bagai mukjizat dari Tuhan untukku malam itu. Seperjalanan, aku mulai ingat bahwa uang itu adalah uang kembalian saat aku membeli sesuatu di waktu liburan. Aku menghela napas dalam-dalam. Bersyukur, akhirnya aku bisa pulang ke rumah majikan dengan tenang.

Akan tetapi, perjuangan tak berhenti di situ. Turun dari bis, aku kembali celingukan entah harus naik apa menuju rumah majikanku. Uang koin mukjizat itu habis. Mini bis khusus yang mengantar ke apartemen tak ada yang beroperasi. Dengan rasa yakin, aku berlari dari perhentian bis menuju rumah majikan dengan menenteng dua tas besar di kanan kiriku. Keadaanku mirip sekali seperti gembel yang terusir dari depan ruko. Atau persis seperti induk kucing yang ditendang orang saat kelaparan. Menyedihkan sekali!

***

Ket: sudah pernah ditayangkan di blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun