Ingin sekali aku keluar, berlari, dan pergi sejauh mungkin dari rumah mengerikan itu. Tapi, aku tak mampu. Kesempatan untuk keluar---hanya ketika aku membuang sampah di malam hari. Itu pun beberapa menit saja. Setiap harinya, aku terkurung di dalam rumah berlantai tiga dengan satu pintu utama.
Haruskah aku kabur? Oh, tidak! Aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan akan selalu bersamaku, melindungiku dengan segenap cinta dan kasih-Nya. Aku yakin, aku akan baik-baik saja walau aku tinggal dengan seekor singa yang siap menerkamku kapan saja. Ya, aku sangat yakin itu. Hanya tawakkal yang dapat menyelamatkanku dari ganasnya musuh sebengis apa pun.
Hanya kuasa Allah Swt yang wajib kupegang erat. Aku menunduk sedih. Airmataku terus menetes. Kulihat mobil kerja milik Tuan telah pergi dari pandangan mataku. Aku merasa lega. Lega sekali. Paling tidak hingga sore nanti---aku akan aman.
Aku merawat Nyonya yang setengah lumpuh karena obesitas. Beliau gemuk sekali, badannya pun tinggi. Aku kewalahan merawat beliau, apalagi kondisinya semakin lama semakin memburuk. Tak satu dua kali kami terjatuh bersama---saat aku berusaha untuk membantu beliau ke kamar mandi. Belum lagi setiap hari aku harus membawa beliau naik turun tangga, karena Nyonya selalu menghabiskan waktu menonton televisi di ruang tamu.
Sedang kamar kami berada di lantai atas. Aku sudah tidak sanggup melakukan tanggungjawabku sebagai care giver di rumah itu. Tenagaku tak seimbang dengan badan pasien yang kurawat. Kedua kaki dan perut bagian bawahku terasa sakit sekali. Rahimku, yang dua tahun lalu menjadi tempat bersemayamnya malaikat kecil selama 9 bulan, saat itu terasa sakit setiap waktu.
Ditambah lagi kelakuan Tuan yang mirip setan, membuatku ingin cepat pergi dari rumah itu. Respon agency selalu kutunggu. Akan tetapi, mereka selalu menyuruhku untuk bersabar dan sabar.Â
"Kalau Tuan nekad memperkosaku bagaimana? Aku takut. Tidak ada siapa pun di rumah ini yang akan menolongku." Lirihku meratap.
"Kamu tidak boleh takut. Kamu harus lawan. Kamu harus berani. Ancam Bossmu bahwa kamu akan lapor kepada agency jika dia macam-macam." Tukas penerjemahku dari balik telepon.
Aku kembali menangis. Tembok yang membisu menjadi sandaran setiaku setiap hari. Kuusap airmata  yang nyaris mengering di pipi. Aku teringat betapa besar perjuanganku untuk datang kemari. Proses masuk PJTKI yang menguras tenaga. Pembuatan paspor ganda di Lampung saat aku dalam keadaan sakit. Bahkan, kondisi kesehatanku pun sangat menurun saat aku melakukan penerbangan ke Taiwan.
Yang lebih terasa pedih, rasa rinduku kepada anakku belum dapat terobati. Ya, anakku. Aku seorang ibu yang frustasi dengan rumah tanggaku hingga kubertekad merantau kemari, Formosa. Meninggalkan anak laki-lakiku yang berusia 2 tahun. Balitaku tersayang, jantung hatiku yang kurawat dengan tanganku sendiri sejak ia masih bayi.
Hati ini pedih, terasa sakit sekali. Masih kuingat betapa ia terlelap dalam tidurnya---beberapa saat sebelum aku meninggalkan dia pagi itu. Aku tak pernah berpikir bahwa itu adalah saat terakhirku melihat wajahnya secara langsung. Sejak berangkat ke penampungan untuk proses ke Taiwan, aku tak pernah pulang ke rumah hingga waktu penerbanganku datang.