Aku tak menduga Tuhan membukakan jalan untuk perjuanganku secepat itu. Hanya dua bulan tiga minggu, aku menghabiskan waktu di karantina, dan itu termasuk cepat untuk proses ke Taiwan yang semakin lama semakin rumit dan ketat. Aku berpamitan kepada Orangtua dan keluargaku hanya lewat sambungan telepon. Do'a mereka mengantarkanku pada penerbangan siang itu.
Aku mengekor dengan China Airlines membawa serta segenap angan dan mimpi bersamaku. Kondisi kesehatanku yang menurun tak membuatku lemah sedikit pun. Kutangkis segala pikiran negative yang sempat mencuri ketenanganku. Semangat dan gelora perjuangan semakin membakar dasar jiwaku. Untuk siapa lagi? Kalau bukan untuk masa depan anak, adik dan kedua Orangtua yang sangat aku sayangi.Â
Dalam alunan perjalanan pesawat yang sunyi, alam mimpi meniup manja kedua kelopak mataku. Aku terpejam sejenak, menyambut kenangan indah yang bernyanyi-nyanyi di atas kepalaku. Senyuman anakku, tawa adikku, nasihat demi nasihat orangtuaku, semua itu bagai tombak yang semakin menguatkan tekad dan niatku.Â
"Mah, aku pergi, ya? Titip Abi, tolong jaga baik-baik." Ujarku lembut, pelan sekali. Isak tangis tak kuasa kutahan di tengah kerongkongan, saat aku berpamitan kepada Ibuku untuk berangkat ke penampungan.
"Iya, hati-hati." Jawab beliau, pelan. Nyaris tak terdengar.
Kucium tangan beliau dengan derai airmata. Akan tetapi, beliau tak menoleh sedikit pun padaku. Suaranya parau. Aku yakin beliau pun merasakan sedih dengan kepergianku. Meninggalkan putraku yang masih tertidur di dalam kamar. Aku pun pergi, meninggalkan Ibuku yang melelehkan airmata sembari menyikat pakaian yang beliau cuci.
***
Malam menjelma. Landasan pesawat dengan gemerlap lampu seakan menyambut kedatangan kami. Kulihat tulisan 'Touyuan International Airport' menyapa kedua mataku samar-samar. Aku segera bangkit dari mimpiku. Memaksakan tubuh kurusku menapak tanah Formosa untuk yang pertama kalinya. Aku celingukan. Bandara besar itu mengingatkanku pada kenangan tujuh tahun silam.
April 2011, tepatnya. Aku tersesat di dalam 'Hongkong International Airport' dengan membawa barang-barang di kanan dan kiriku. Satu tas besar milikku dan satu tas lagi titipan temanku. Saat itu aku kembali setelah sepuluh hari cuti sakit. Aku pikir, majikanku-lah yang akan menjemputku di bandara.
Ternyata tidak, aku dibiarkannya begitu saja. Mencari cara untuk kembali ke rumah majikanku seorang diri. Aku bingung harus keluar lewat pintu mana. Ponselku kehabisan baterai. Malam semakin larut. Suasana dalam bandara sangat sepi. Airmataku akhirnya jatuh dengan perasaan yang tak karuan.Â
"Mamah, Bapak, aku tersesat." Lirihku ketakutan. Aku menengok kesana kemari berharap ada orang yang lewat di depanku. Akan tetapi, nihil.