Tatapanku lurus kedepan. "Wanita berkerudung violet itu?"
Kulihat Mas Hil mengangguk kecil. "Apa kau tahu apa yang salah dari kerudung yang dia pakai, Lin?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Malam ini aku ingin memberimu sedikit pengetahuan tentang wanita. Aku tidak akan menghentikan laju motorku bila tak ada alasan di dalamnya. Coba kau perhatikan, jilbabnya memang panjang. Wajahnya terlihat anggun dan cantik. Namun dia keliru tidak melipat kain di bagian telinganya, sehingga lekukan telinganya masih terlihat jelas oleh kita." tuturnya dengan lembut.
Kutatap sekilas wajahnya, ada senyum kecil yang menghias keteduhan di wajahnya. Seperti yang sudah sudah, aku selalu terhipnotis setiap kali ia memberiku pengarahan tentang ilmu keagamaan. Aku hanya menunduk cukup lama sembari meraba jilbab yang aku kenakan.
"Kau tahu Lin, mengapa seorang wanita berjilbab di anjurkan untuk melipat kain di bagian telinganya? hal itu semata untuk menutup rapat telinga itu sendiri karna telinga juga aurat seorang wanita yang wajib untuk di tutupi."
Aku kembali terdiam. Entah mengapa lidahku terasa kelu. Setiap kali Mas Hil memberiku nasihat aku memang hanya diam tak bersuara. Aku takut mengucapkan kalimat yang salah di matanya. Kutatap ia yang tersenyum kearahku, lalu kembali menstarter motor maticnya. Di dekat lapangan yang tak jauh dari kost-anku kamipun turun. Mas Hil memarkir motornya di sana. Mendung langit sedari tadi mulai curahkan tetes demi tetes molekul molekul bening yang menerpa wajah kami.
"Sepertinya akan hujan Mas. Sebaiknya Mas cepat pulang."
Pemuda berwajah teduh itu justru duduk di atas motornya. Ia melepas jaket hitam dan membalutkannya ke tubuhku. Hatiku mulai berdesir. Segala perhatian dan waktu yang ia habiskan untukku beberapa pekan ini membuat aku merasa beruntung, namun tak menepis  kenyataan bahwa ada rasa takut yang selalu menyeruak di hatiku.Â
Rasa takut yang dirasakan oleh perempuan biasa dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Rasa takut seorang hawa lemah yang mulai merasakan desiran cinta terhadap seorang Yusuf di depan matanya.Â
Aku menyentuh jaket itu, jaket hitam yang di belakangnya bertuliskan kalimat Majelis Ulama Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Perasaan yang tak karuan membuat kedua mataku kembali menatap Mas Hil yang menengadahkan wajahnya ke atas langit. Kulihat bulir bulir air hujan membasahi wajah teduhnya serta kedua lengan tangannya yang putih.Â