Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diam Tak Berarti Bisu

5 Desember 2019   09:43 Diperbarui: 5 Desember 2019   09:56 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja mengintip dari balik mendung langit. Semburat jingga menyapa seluruh makhluk di atas bumi. Rintik hujan sungkan turun. Hanya kelebatan angin yang menembus tipis kulit. 

Nuansa itu, memaksa kami untuk berhenti. Melepas lelah. Merangkul magrib. Motor matic merah terparkir pelan. Serambi masjid menyapa dua hati diselimuti keindahan. Bibir kami tersenyum. Hati kami berdesir. Hingga sujud demi sujud menundukkan kami pada Sang Maha Pengasih. Sang Maha Pencipta. Sang Maha Segalanya.

Selesai salat, ia sudah menungguku di luar. Terlihat memikirkan sesuatu, namun aku tak tahu. Kudekati ia dengan pelan, sembari memasang kembali alas kakiku.

"Aku rindu dengan lantunan mengaji anak anak di zamanku dulu. Sekarang lantunan suara mengaji seperti itu, sudah tak terdengar lagi oleh telingaku, saat kusinggahkan jasad dan jiwaku kerumah Allah Swt ini."

"Maksudnya?" Tanyaku tak paham, detik-detik itu mengharuskan aku untuk menatapnya dengan lekat.

Ia tersenyum tipis ke arahku. "Banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu. Tentang mengaji, wanita dan keimanan. Tapi hari ini kita tidak punya banyak waktu untuk itu. Dan nanti malam aku ada janji dengan kawanku untuk membahas perencanaan bisnis yang sedang kami kerjakan."

"Baiklah, tidak apa apa. Aku akan selalu menunggu sesempat yang Mas bisa."

Lelaki yang kupanggil Mas Hil itu tersenyum, lalu melipat sajadahnya dan mengajakku untuk pulang. Maghrib itu begitu beda kurasakan, karna kehadiran lelaki saleh yang beberapa pekan ini dekat sekali denganku. Dia bernama Hilman, seorang pemuda yang kukenal saat aku pulang kampung ke daerah asalku, Indramayu. Kami bertemu di dalam bis, kebetulan Mas Hil juga berasal darisana.

Keluar dari area masjid, kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Hari itu kami habiskan untuk mengelilingi kota Bandung sembari melaksanakan sholat wajib di masjid masjid yang kami lewati. Mulai dari masjid Agung Bandung hingga masjid yang barusan kami singgahi, yaitu masjid yang terletak di dekat RS Kasih Bunda, Cimahi.

Di tengah perjalanan Mas Hil menghentikan kendaraannya. "Ada apa Mas, kok berhenti?" Tanyaku heran.

"Lihat wanita yang sedang berdiri disana."

Tatapanku lurus kedepan. "Wanita berkerudung violet itu?"

Kulihat Mas Hil mengangguk kecil. "Apa kau tahu apa yang salah dari kerudung yang dia pakai, Lin?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Malam ini aku ingin memberimu sedikit pengetahuan tentang wanita. Aku tidak akan menghentikan laju motorku bila tak ada alasan di dalamnya. Coba kau perhatikan, jilbabnya memang panjang. Wajahnya terlihat anggun dan cantik. Namun dia keliru tidak melipat kain di bagian telinganya, sehingga lekukan telinganya masih terlihat jelas oleh kita." tuturnya dengan lembut.

Kutatap sekilas wajahnya, ada senyum kecil yang menghias keteduhan di wajahnya. Seperti yang sudah sudah, aku selalu terhipnotis setiap kali ia memberiku pengarahan tentang ilmu keagamaan. Aku hanya menunduk cukup lama sembari meraba jilbab yang aku kenakan.

"Kau tahu Lin, mengapa seorang wanita berjilbab di anjurkan untuk melipat kain di bagian telinganya? hal itu semata untuk menutup rapat telinga itu sendiri karna telinga juga aurat seorang wanita yang wajib untuk di tutupi."

Aku kembali terdiam. Entah mengapa lidahku terasa kelu. Setiap kali Mas Hil memberiku nasihat aku memang hanya diam tak bersuara. Aku takut mengucapkan kalimat yang salah di matanya. Kutatap ia yang tersenyum kearahku, lalu kembali menstarter motor maticnya. Di dekat lapangan yang tak jauh dari kost-anku kamipun turun. Mas Hil memarkir motornya di sana. Mendung langit sedari tadi mulai curahkan tetes demi tetes molekul molekul bening yang menerpa wajah kami.

"Sepertinya akan hujan Mas. Sebaiknya Mas cepat pulang."

Pemuda berwajah teduh itu justru duduk di atas motornya. Ia melepas jaket hitam dan membalutkannya ke tubuhku. Hatiku mulai berdesir. Segala perhatian dan waktu yang ia habiskan untukku beberapa pekan ini membuat aku merasa beruntung, namun tak menepis  kenyataan bahwa ada rasa takut yang selalu menyeruak di hatiku. 

Rasa takut yang dirasakan oleh perempuan biasa dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Rasa takut seorang hawa lemah yang mulai merasakan desiran cinta terhadap seorang Yusuf di depan matanya. 

Aku menyentuh jaket itu, jaket hitam yang di belakangnya bertuliskan kalimat Majelis Ulama Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Perasaan yang tak karuan membuat kedua mataku kembali menatap Mas Hil yang menengadahkan wajahnya ke atas langit. Kulihat bulir bulir air hujan membasahi wajah teduhnya serta kedua lengan tangannya yang putih. 

Kemeja merah tua yang ia kenakanpun mulai basah namun ia masih juga tak beranjak dari motornya. Aku bingung, namun untuk memintanya pulang akupun sungkan. Karna sejujurnya, berat hatiku untuk mengakhiri saat saat menakjubkan seperti itu dengannya. Aku hanya terdiam dan kembali menunduk. Membawa serta kegundahan hati yang kurasakan saat itu.

"Lin, aku ingin memberimu sebuah pesan yang benar benar penting dalam hidup yang sebentar ini." gumamnya, menoleh kearahku. Kulihat bulir bulir air hujan itu terjatuh dari wajahnya.

"Apa itu Mas?"

Tanpa mengurangi kelembutan dan senyum kecil di wajahnya, pemuda berkaca mata yang berusia satu tahun lebih tua dariku itu kembali mengucapkan kalimat yang menggetarkan hatiku.

"Jangan pernah menggadaikan keimanan! Lin, maaf bila aku berlebihan dalam memberimu nasihat. Semua itu semata karna aku sangat perduli padamu. Sebisa mungkin aku luruskan setiap kesalahan yang aku lihat dalam dirimu. Termasuk foto foto yang begitu banyak di setiap sudut kamarmu. Maukah kau melepasnya demi keselamatanmu Lin?"

Aku tersentak bukan main. Aku tidak menyangka perhatiannya sedalam itu padaku. Hatiku benar benar melihat ketulusan yang terpancar dari wajahnya. Wajah yang begitu ramah dan bersinar oleh guyuran air wudhu yang seakan tak pernah kering. Wajah yang penuh kelembutan karna sujud sujud cinta yang membuatnya begitu rendah hati. Ya Allah.. apakah aku mencintainya?

Mulutku masih bungkam. Bukan rasa ingin memiliki yang membuatku segelisah itu, melainkan rasa takut akan kehilangan bila suatu saat ia pergi meninggalkan aku. Kutarik nasfasku dalam dalam. Kemudian kedua mataku bermain main menatap keadaan di sekitar yang begitu sepi. 

"Insya Allah, Mas. Aku akan melepas foto foto itu secepatnya."

Mas Hil tersenyum kearahku."Ada sebuah hadist yang menerangkan tentang seorang malaikat yang selalu datang dan melindungi seorang mukmin. Malaikat itu selalu menjaga mukmin tersebut hingga pada suatu hari entah apa yang menyebabkan Ia pergi dan tak lagi menemani sang mukmin tersebut. Keadaan itu membuat Rasulullah Saw penasaran. Beliau mendatangi malaikat itu dan bertanya akan alasan dibalik perubahan sikapnya. Dan malaikatpun menjawab, bahwa Ia tidak mau masuk kedalam ruangan yang di dalamnya terdapat gambar gambar atau patung patung yang menyerupai makhluk hidup."

Aku mendengarkan nasehat itu dengan hati yang sangat terbuka. Dengan rasa yakin aku menganggukkan kepalaku, isyarat bahwa aku bersedia melakukan apa yang ia nasehatkan kepadaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun