Mengapa?
Pertama, kurangnya olah fisik menyebabkan anak-anak berusia hampir enam tahun masih tertatih-tatih menaiki dan menuruni anak tangga.
Padahal bila mereka berada di sekolah, guru pasti akan mengasah kemampuan motorik mereka dengan berbagai aktivitas. Sebaliknya kegiatan itu mungkin tidak sepenuhnya dipraktikkan di rumah.
Kepiawaian motorik adalah fondasi awal dalam tumbuh kembang seorang anak. Â Bisa dibayangkan apa yang terjadi saat ia belum siap secara motorik mengikuti kegiatan berlari, menendang dan menangkap bola saat di SD.
Kedua, perkembangan sosial emosional perlu dirangsang. Pembelajaran luring atau tatap muka menjadi krusial karena anak langsung dihadapkan oleh kondisi dan situasi nyata.
Ya, praktik langsung. Mereka perlu mengendalikan emosi dan mencari solusi saat berkomunikasi dengan temannya ataupun saat bekerja sama. Berempati dan simpati membantu teman lainnya saat diperlukan.
Kondisi ini sulit ditemukan dalam pembelajaran daring karena semua peserta harus dalam kondisi mute atau mematikan microphone.
Ketiga, kemandirian yang nyaris pupus saat belajar dari rumah. Kenapa? orang dewasa sering terlibat dalam pembelajaran. Alih-alih tidak sabar menunggu anaknya melakukan instruksi guru. Ia menyiapkan jawaban dan membantu menyelesaikannya. Gawat. Penjerumusan tersembunyi.
Syahdan, di sekolah anak itu hanya bengong. Membuka sepatu dan memakai kaos kaki menjadi sulit baginya. Belum lagi toilet training menjadi tertunda. Repot.
Keempat, perkembangan kognitif anak tidak terstimulasi. Orang dewasa yang mendampingi anak belajar di rumah kurang memahami pola belajar anak usia dini. Bermain seraya belajar. Belajar seraya bermain adalah cara belajar anak. Mengamati, eksplorasi, menanya, mengumpulkan data, dan mengomunikasikannya.
Scaffolding, mencontoh, menfasilitasi merupakan interaksi membangun bagi anak. Nyatanya orang tua dan orang dewasa di rumah lebih memilih pendekatan drilling ketimbang child center.