"Terima kasih," ucap Mia, bocah cantik berusia empat tahun tersenyum manis. Ia menerima bola dengan kedua tangan mungilnya. Sepasang mata bulat bening menatap sang guru yang menemaninya bermain.
Salah satu ilustrasi yang kerap dijumpai di taman kanak-kanak setiap pagi. Gerombolan anak datang dengan wajah ceria. Senyum menghias bibir. Mereka bermain, berceloteh, bersenda gurau dan berlari bersama.Â
Bila jatuh dan terluka, menangislah mereka tanpa aba-aba. Â Saat takada teman yang mau diajak bermain. Guru menjadi tempat pengaduan. Pertengkaran dan perselisihan kerap menjadi bagian dalam perebutan mainan. Kata "Maaf" sebagai jembatan persahabatan diucapkan dengan tulus. Mengakui kesalahan dan berempati.
"Kring...kring..! (bunyi bel sepeda) permisi! Aku mau lewat."
Kalimat yang terlontar oleh anak tatkala ada yang menghalangi laju sepeda di halaman bermain.
Kagum, ya!
Secara otomatis ketiga kata sederhana itu diucapkan tanpa beban. Pembiasaan konkret dipraktikkan dalam setiap tindakan siswa-siswi polos mencontoh guru yang menjadi panutannya.
Ungkapan peribahasa "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari" bermakna perilaku guru menjadi contoh dan ditiru oleh anak didiknya menjadi pembuktian. Sebagai orang dewasa, selayaknya kita menjaga sikap dan tutur dalam bertindak.
Apakah implementasi selaras di masyarakat? Â
Sebagaimana biasanya setiap pagi, saya berusaha menyempatkan diri menyapa para guru. Menanyakan kabar atau sekadar melakukan obrolan santai.
Di dalam UKS (unit kesehatan sekolah) tampak ramai. Ada beberapa guru dan suster terlihat sibuk mencari sesuatu. Dengan rasa penasaran, Â saya hampiri mereka dan bertanya ada apa.
"Iya, Endah (nama samaran) terluka ketika dalam perjalanan ke sekolah." Terlihat ada lebam, sayatan di telapak tangan, lutut, kaki, pergelangan tangan terkilir. Akibatnya sulit menggerakkan anggota tubuh. Untung ia tidak mengalami cedera serius.
Ternyata, sebuah motor yang dikendarai seorang laki-laki, bersama seorang perempuan dan anak balita menyerempetnya. Motor Endah oleng dan jatuh saat mengantre lampu merah. Rupanya pengemudi itu menerobos lampu merah. Dan kabur begitu saja tanpa menghiraukan korban. Takada ucapan permisi, maaf untuk menghargai orang lain.
Kasus kedua, pernah dialami guru perempuan lainnya. Ia pun korban tabrak lari pengendara tidak bertanggung jawab. Nahas, sebut saja Ani mengalami traumatis hingga kini saat menceritakannya kepada saya.
Sore hari, sepulang kerja dengan kecepatan 10 km/jam ia mengendarai motor. Wuus... ia terjatuh, tak sadarkan diri. Bau khas karbol rumah sakit membuatnya terbangun. Suara percakapan suami dengan dokter menyadarkannya apa yang terjadi.
Sang ibu bercerita bahwa polisi melakukan panggilan menggunakan telepon seluler miliknya. Â Memberitahu bahwa telah terjadi kecelakaan tabrak lari yang melibatkan pemilik telepon genggam.Â
Insiden ini membuatnya harus melakukan operasi plastik akibat rahang mulut yang bergeser. Beberapa buah gigi tanggal. Padahal ia sudah memakai helmet sebagai pelindung kepala. Dahsyat!Â
Hampir dua belas bulan ia harus puasa bicara dan hanya menyeruput sari makanan dan minuman tanpa serat. Penyebabnya adalah paska operasi, rahang mulut hanya menyisahkan celah berdiameter 3mm. Lebih kecil dari ukuran sedotan 5 mm dan tidak boleh digunakan sampai waktu yang ditentukan. Seperti ketika tangan atau kaki digips karena patah agar posisi tidak berubah.
Sejak itu Ani tidak mau lagi mengemudi motor dan mobil yang menjadi kesukaannya. Bersyukur ia masih dilindungi Tuhan YME. Â
Apa yang terjadi bila korban tidak memiliki anggota keluarga? Bagaimana jika hal itu menimpa anak, adik, kakak, ibu, ayah dan keluarga kita?
Otot dan emosi menjadi navigator
Saya jadi teringat ketika sedang asyik jalan di mal bersama teman, tetiba ada orang yang menubruk dari depan. Alih-alih minta maaf, justru penabrak yang lebih galak. "Gimana sih, jalan enggak lihat-lihat." Padahal dia sibuk mengamati telepon genggam tanpa peduli sekitarnya.
Untung ditenangkan oleh teman. Kalau enggak, adu mulut bakal terjadi.
Bagi sebagian orang ucapan terima kasih adalah tidak penting. Padahal kata sederhana itu memperkuat hubungan emosional.
Saat sedang terburu-buru meminta bantuan pasangan atau teman. Sementara dia juga sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Dengan ucapan terima kasih yang tulus, maka emosinya akan mereda karena ia merasa dihargai.
Bagaimana dengan permisi?
Permisi dapat mengikis ego dan keangkuhan diri dan menghargai orang lain.
Saya dan suami sedang antre membeli karcis bioskop (sebelum pandemi). Terlihat seseorang memotong jalur tanpa permisi. Sontak, emosi orang yang diselak meluap.Â
Ia menepuk pundak orang itu dan mengatakan "Jangan main selak aja!" Antre di belakang bro! Bukannya minta maaf, justru penyelak melotot dan bertolak pinggang. Waduh...!
Penyebab kepunahan
Kerasnya kehidupan merubah warna perilaku seseorang menjadi labil, kasar dan tak beradab. Kemoralan merosot. Pengaruh lingkungan menyeret kepribadian menjadi lupa norma dan etika yang seharusnya ditularkan kepada anak-anak.
Orang tua terlalu sibuk dengan biaya hidup yang semakin melambung. Â Tekanan hidup memuncak. Dinamika pekerjaan menguras energi dan perhatian.
Alhasil pola dan perilaku orang dewasa sebagai model dan panutan bagi generasi mendatang menjadi gamang serta bias. Â
Lantas apa yang harus dilakukan?
Sebagai dewasa dan anggota masyarakat. Kita seyogianya bergandeng tangan menjadi pelestari tiga kata ajaib yang nyaris punah.
Kembali kepada peribahasa "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari"
Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Sebaliknya guru adalah pengganti orang tua di sekolah. Sehingga kedua posisi memegang peranan penting.
Ketika anak mendapatkan asupan pengembangan diri dan pengasuhan yang positif, ia akan berkembang mengikuti pola pengajaran yang ditanamkan.
Menurut John W Santrock dalam jurnal penelitiannya "Child Development and Developmental Psychology" Orang tua harus serius dalam mengasuh anak-anaknya, sebab mereka adalah masa depan masyarakat:
You might be a parent someday or might already be one. You should take seriously the importance of rearing your children, because they are the future of our society. Good parenting takes considerable time. If you plan to become a parent, commit yourself day after day, week after week, month after month, and year after year to providing your children with a warm, supportive, safe, and stimulating environment that will make them feel secure and allow them to reach their full potential as human beings.
Suatu saat anda akan menjadi orang tua atau mungkin sudah menjadi orang tua. Keseriusan anda diperlukan dalam mengasuh anak-anak. Karena mereka adalah generasi masa depan. Pengasuhan yang baik mengkonsumsi waktu yang banyak. Ketika berencana menjadi orang tua, sebuah komitmen diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, kondusif, aman, dan mendukung, serta menstimulasi agar anak merasa aman dan memungkinkan mereka meraih potensi diri sebagai manusia seutuhnya.
Semoga kita dapat mengambil bagian mengemban tugas pelestari, senantiasa mempraktikkan ketiga kata ajaib "Maaf, Permisi dan Terima kasih."
Jakarta, 16 April 2022
Iing Felicia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI