"Mas, aku sudah berusaha menjadi istri dan ibu yang baik buat mas, tapi mas tidak menghargai perasaan dan usahaku, kalau mas masih membandingkan aku dengan ibumu, aku tidak terima."
"Kenyataan memang begitu Bun." elaknya
Segera aku meninggalkan Mas Harun, aku tidak mau masalah ini membesar dan malah semakin memanas.
Sepanjang hari hingga sore hari, aktifitasku sebagai ibu dan istri tetap seperti biasanya, walau hati ini  masih sakit, dan rasanya aku ingin bercerita ke Abah dan Umi, namun hati kecilku melarang, aku tidak boleh membuat abah dan umi bersedih dengan keadaanku, aku harus bisa mengatasi semua.
Hujan sore ini membuat suasana rumah kecilku menjadi dingin, sejak pertengkaran kecil pagi itu, hubunganku dengan Mas Harun agak  dingin, aku masih agak kecewa dengan ucapan Mas Harun yang terus membandingkanku dengan ibunya.
Suara sepeda motor yang masuk ke halaman rumah memaksaku untuk beranjak dan melihat siapa gerangan yang datang.
Sebuah ucapan salam yang dari suaranya tak asing di telingaku, ya ibu mertua, Bapak dan Ibunya Mas Harun.
"Assalamualaikum..."Â
Serentak kami menjawab dan menyambut beliau berdua, apalagi Hasan dan Husein begitu bahagia bertemu dengan kakeknya yang memang rumahnya agak jauh, jadi jarang bertemu, setelah anak-anak bertemu dan kemudian anak-anak diajak Bi Sari ke dalam, maka kami pun mengobrol banyak.
"Harun, kamu harus bersyukur mempunyai istri yang sabar dan patuh, dan dia pun banyak membantumu, jangan kamu sakiti dia, apalagi membandingkan dengan wanita lain walaupun itu dengan ibumu sendiri, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, ibumu bisa melakukan semuanya, karena ibumu tidak bekerja, sedangkan Zahra, harus berbagi waktunya antara rumah tangga, dan pekerjaan."
"Lho, ibu tahu darimana?" tanya Mas Harun keheranan.