Tujuan utama pernikahan dalam Islam yaitu membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (keluarga yang diselimuti dengan ketentraman, kecintaan, serta rasa kasih sayang)
Aku Fatimah Az-Zahra, sebuah nama yang indah, seperti nama putrinya Rasulullah, nama yang menyimpan sejuta harapan, kalau aku harus bisa mengikuti jejak beliau, menjadi seorang wanita yang berakhlak mulia.
Seusai aku melanjutkan kuliah dan bekerja di sebuah lembaga pendidikan dengan status pegawai pemerintah yang notabene kegiatanku terikat oleh Undang-Undang, dan ini memberikan arti bahwa aku harus bertanggung jawab terhadap pekerjaanku, dengan berjalannya waktu, Abah  dan Umi hendak mempertemukan aku dengan seseorang, yah seorang laki-laki yang nantinya akan menjadi pendamping hidupku, sampai maut memisahkan kami.
                            ***
Sore ini hujan turun gerimis, airnya yang jatuh perlahan membasahi bunga mawarku yang berderet di taman depan rumah.
"Zahra [panggilan Abah untukku], kini kamu sudah dewasa, dan kamu belum memperkenalkan ke abah  seorang lelaki satupun."
"Abah  akan memperkenalkan kamu ke seorang pemuda, dan insyaAllah anaknya sholeh dan amanah." lanjut Abah.
"Kalau Zahra bagaimana baiknya menurut Abah dan Umi."
Aku tak mampu membalas semua kebaikan Abah dan Umi, jasa beliau berdua sangat besar dalam kehidupanku, semoga dengan aku mematuhi dan menyetujui keputusan beliau berdua, ini adalah bentuk baktiku sebagai anak yang sejatinya kepatuhanku ini tidak sebanding dengan pengorbanan beliau berdua.
Seminggu sejak percakapan sore itu, datanglah ke rumahku seorang lelaki yang bernama Harun Al-Rasyid, seorang lelaki yang tampan, gagah, dan sangat sopan, bersama keluarga besarnya, dan kini lelaki itu menjadi suamiku, dan ayah dari kedua putraku.
Sejak aku menikah dengan Mas Harun, kami tinggal di sebuah rumah yang lokasinya tidak jauh dari rumah Abah dan Umi.
Menikah adalah mempertemukan dua manusia yang berbeda pola asuh, pendidikan, kebudayaan, dan kebiasaan, maka memerlukan proses dimana satu dengan yang lain saling mengerti dan menghormati kebiasaan masing-masing pasangan, namun...
"Bun, ibu kalau masak itu enak lho."
"Bun, ibu itu kalau pagi semua rumah sudah rapi, dan masakan sudah siap di meja."
"Bun, Ibu itu jago bikin kue."
Dan banyak sekali kalimat itu terucap, dan kalimat sederhana itulah yang menjadi pemicu pertengkaran diantara kami, seperti pagi ini, ketika aku sudah bersiap berangkat kerja, sedangkan semua sarapan sudah aku persiapkan dengan cepat kilat, karena pekerjaanku yang menuntut aku datang tepat waktu, sedangkan suamiku tidak bekerja di sebuah instansi maupun lembaga pemerintahan, namun beliau seorang usahawan, yang tidak di kejar waktu.
"Bun, seharusnya sebelum berangkat itu semuanya sudah siap, dulu ibuku itu pagi sudah siap semuanya."
Kembali ucapan itu aku dengar untuk yang kesekian kalinya, dan kali ini aku sangat tersinggung sekali, bagaimana tidak, aku sudah berusaha menjadi istri dan ibu yang baik buat Mas Harun dan anak-anaknya.
"Bi, tolong anak-anak bawa ke depan, sebentar lagi aku menyusul!." titahku pada Bi Sari, asisten rumah tanggaku.
"Baik Bu." sambil menuntun kedua putraku menuju mobil.
Anak-anak berangkat bersamaku, agar tidak terlambat
"Mas, aku sudah berusaha menjadi istri dan ibu yang baik buat mas, tapi mas tidak menghargai perasaan dan usahaku, kalau mas masih membandingkan aku dengan ibumu, aku tidak terima."
"Kenyataan memang begitu Bun." elaknya
Segera aku meninggalkan Mas Harun, aku tidak mau masalah ini membesar dan malah semakin memanas.
Sepanjang hari hingga sore hari, aktifitasku sebagai ibu dan istri tetap seperti biasanya, walau hati ini  masih sakit, dan rasanya aku ingin bercerita ke Abah dan Umi, namun hati kecilku melarang, aku tidak boleh membuat abah dan umi bersedih dengan keadaanku, aku harus bisa mengatasi semua.
Hujan sore ini membuat suasana rumah kecilku menjadi dingin, sejak pertengkaran kecil pagi itu, hubunganku dengan Mas Harun agak  dingin, aku masih agak kecewa dengan ucapan Mas Harun yang terus membandingkanku dengan ibunya.
Suara sepeda motor yang masuk ke halaman rumah memaksaku untuk beranjak dan melihat siapa gerangan yang datang.
Sebuah ucapan salam yang dari suaranya tak asing di telingaku, ya ibu mertua, Bapak dan Ibunya Mas Harun.
"Assalamualaikum..."Â
Serentak kami menjawab dan menyambut beliau berdua, apalagi Hasan dan Husein begitu bahagia bertemu dengan kakeknya yang memang rumahnya agak jauh, jadi jarang bertemu, setelah anak-anak bertemu dan kemudian anak-anak diajak Bi Sari ke dalam, maka kami pun mengobrol banyak.
"Harun, kamu harus bersyukur mempunyai istri yang sabar dan patuh, dan dia pun banyak membantumu, jangan kamu sakiti dia, apalagi membandingkan dengan wanita lain walaupun itu dengan ibumu sendiri, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, ibumu bisa melakukan semuanya, karena ibumu tidak bekerja, sedangkan Zahra, harus berbagi waktunya antara rumah tangga, dan pekerjaan."
"Lho, ibu tahu darimana?" tanya Mas Harun keheranan.
"Tidak perlu tahu, dan itu bukan dari istrimu, dia seorang istri yang sabar dan patuh." sambil menatapku.
Aku merasa malu dan sekaligus bahagia.
Aku melihat Mas Harun duduk seraya menundukkan kepalanya, lalu memandangku dan memelukku dengan erat, seraya berbisik [bisikannya pun terdengar oleh Bapak dan Ibu] hemm.
"Bun, maafkan ayah, ayah berjanji tak akan membandingkan bunda dengan siapapun, dan terima kasih sudah menjadi istri dan bunda dari kedua jagoan kita."Â
Sejak kedatangan bapak dan ibu Mas Harun sore itu, Mas Harun kini tak membandingkan aku dengan ibunya lagi.
Terima kasih ya Allah, Engkau mengutus seseorang untuk mengingatkan kekeliruan yang ada diantara kami, kami akan terus belajar dan belajar demi kehidupan yang sakinah, mawadah, dan warohmah, dan bahagia sampai jannah, amiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H