"Ya elah, gitu aja tersinggung. Baperan, luh!" tanggapan Markus ketika kamu marah dan menegurnya. Akhirnya, kamu mulai menjauhi Markus. Kamu lebih memilih berteman dengan Doni, Alex, Leon yang hanya diam dan sibuk dengan laptopnya bermain game. Akhirnya, kamu meniru cara mereka untuk menghindari teman-temanmu, seperti Markus.
Suatu ketika kamu mabar bersama Alex. Seluruh kata-kata yang biasanya tidak pantas diucapkan di depan orang tua, guru, dan orang lain keluar dari mulut Alex. Awalnya kamu kaget, tetapi terbawa suasana. Kamu pun lampiaskan seluruh emosimu yang terpendam selama ini dengan kata-kata yang tidak pantas. Sungguh ada rasa lega saat itu.
Karena terbiasa, kamu sudah mulai berani melawan Ayah, Kakak, dan Ibu. Sampai Ibu menangis di dapur sambil memasak. Masakannya penuh dengan bumbu air mata. Ibu beberapa kali harus bertemu Bu Wanti karena ulahmu yang mulai terbawa arus. Kamu berani membolos dari sekolah dan memilih nongkrong di kafe hanya untuk bermain game. Ibu menegurmu, tetapi malah marah ke Ibu.
Ayah yang baru pulang kerja dan terlihat kelelahan tahu kelakuanmu langsung memberimu hadiah tamparan.
"Anak tak tahu diuntung!" teriak Ayah.
Ibu ketakutan dan melindungimu. Kakak hanya bisa mengintip dari kamarnya.
"Ini karena kamu terlalu memanjakan dia!" kata Ayah penuh emosi.
"Memanjakan bagaimana?" batinmu. Â
****
Bu Tuti meninggalkanmu dan mulai menjelaskan materi lagi. Kamu masih belum bisa mengendalikan emosimu.
Kamu pukul meja dan memukul dirimu sendiri. Bu Tuti lalu menghampirimu. Teman-teman terlihat panik. Bu Tuti langsung membawamu ke ruang konseling. Sudah terlihat Bu Wanti cemas melihat dirimu. Memang sudah beberapa kali kamu dipanggil Bu Wanti karena urusan keterlambatan dan kedisplinan. Kali ini ada masalah baru dengan dirimu.