"Aku mohon Kakak bisa membantu Kak Marcel keluar dari masalahnya," katanya memohon sebelum kami berpisah di pusat perbelanjaan itu.
***
Ucapan Sheila membuatku tidak tenang. Apalagi sampai mengirimkan beberapa foto Marcel. Aku bingung harus melakukan apa. Marcel memiliki bentuk wajah yang lonjong, kulit wajah yang mulus, serta hidung yang mancung. Foto dengan gaya cool membuat siapa pun tidak akan percaya bahwa Marcel adalah Marcelia. Lalu, aku bandingkan dengan beberapa foto yang lain. Terlihat dia sudah mulai memanjangkan rambut yang dibiarkan tergerai, tetapi pakaiannya masih menggunakan kemeja biru lengan panjang yang dibiarkan tidak terkancing dengan dipadukan kaos warna putih. Foto yang lain mengungkapkan jati dirinya sebagai Marcelia dengan riasan wajah seperti gadis-gadis Korea, anting besar bulat tergantung di telinganya, serta kaos hitam ketat melekat pada tubuhnya. Di sini aku seolah membayangkan dua sosok manusia, yaitu Marcel dan Marcelia.
 "Hai, lagi apa?" tanya Cleo mengagetkanku.
"Cleo, kamu kan sudah kerja lama di sini. Apa yang menyebabkan seorang cowok yakin untuk melakukan operasi kelamin?" tanyaku dengan tatapan serius.
"Operasi kelamin 'kan tidak gampang. Sangat banyak prosedur yang wajib diikuti. Apalagi di rumah sakit ini. Mengganti kelamin bukan semata-mata urusan vital, melainkan urusan jiwa. Memangnya kenapa?" tanya Cleo dengan senyum penasaran.
Ucapan Cleo membuat pikiranku terbuka. Apakah mungkin Marcel sudah didiagnosis psikiater sebagai penderita Gender Identity Disorder?Â
"Woi! Kok melamun?" Cleo kembali mengangetkanku.
"Oh, tidak!" jawabku langsung berpura-pura menatap layar komputer di depanku.
***
 "Apakah Marcel sudah mendapatkan surat rekomendasi dari psikiater?" tanyaku pada Sheila lewat telepon.