Mohon tunggu...
Iin Andini
Iin Andini Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dan Impian Ratna

21 Juli 2021   21:45 Diperbarui: 21 Juli 2021   22:03 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.suarainqilabi.com/

           Ratna begitu bahagia karena telah menyelesaikan ujian akhir sekolah. Ratna tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Sebentar lagi juga Ratna berharap akan kuliah di kota. Ratna berjalan pulang ke rumah bersama Dita. Dari kejauhan, Ratna melihat bapaknya sedang berbincang dengan Kak Rahmat. Perasaan Ratna mulai tidak enak.

         "Akankah aku mengalami hal yang sama seperti teman-temanku?" guman Ratna dalam hati.

          Ratna terus melaju ke rumahnya dengan perasaan khawatir. Tersadar dengan kehadiran Ratna, bapaknya langsung menyapa dan memberi tahu Rahmat.

         "Selamat siang, Pak, Kak!" sapa Ratna menyunggingkan senyum manisnya.

         "Siang Ratna!" jawab Rahmat begitu cepat "baru pulang?"

         "Iya kak."

        Rahmat lalu menanyakan sekolah Ratna dan rencana ke depannya. Ratna hanya membahas singkat saja.

Tiba-tiba ponsel Ratna bergetar. Dia mengambilnya dari saku roknya. Ternyata panggilan dari Dita. Ratna lalu pamit ke ayahnya dan Rahmat. Lalu, Ratna menjawab panggilan Dita sambil berjalan masuk ke kamar.

       "Halo Dita. Kenapa?"

       "Tadi, saya melihat Rahmat di rumahmu. Kamu mau dijodohkan sama Rahmat, ya?" tanya Dita.

      "Enggaklah. Aku juga enggak mau. Aku mau kuliah dulu."

      "Lah, kalau kamu enggak mau, buat saya saja ya. Hehehe"

      Ratna pun tertegun mendengar jawaban Dita. Rahmat memang sosok yang diidamkan kaum hawa di kampungnya. Walaupun hanya lulusan SMA, Rahmat mampu membangun bisnis peternakan ayam di kampung. Namun, Ratna tetap memikirkan kuliahnya. Apalagi dia sudah memiliki pacar, yaitu Henra.

     "Ambil saja. Tapi belum tentu dia ke rumah karena lamaran. Bisa saja ada hal yang lain," jawab Ratna.

      Tiba-tiba ayahnya memanggil Ratna. Jantung Ratna langsung deg-degan.

     "Ya Tuhan semoga bukan masalah pertunangan," guman Ratna dalam hati.

      Ratna pun meminta ayahnya untuk bersabar. Ratna lalu keluar dari kamar. Ditengoknya teras rumahnya dan ternyata Ratmat sudah pulang. Bapak menyuruh Ratna duduk. Ratna langsung duduk di bangku kayu berwarna cokelat tua.

     "Tadi Bapak lihat kamu berduaan dengan Henra, ya?" tanya bapak dengan sinis.

Ratna lalu berpikir di mana bapak melihatnya. Memang, tadi Ratna berjalan bersama Henra.

     "Tolong, kamu jauhin Henra," kata bapak menatap Ratna tajam.

      Jantung Ratna langsung berdegup kencang. Ratna tidak bisa berkata apa-apa. Air mata Ratna hampir tumpah. Pikiran Ratna langsung tertuju pada Rahmat. 

     "Pasti semua gara-gara Rahmat," gumannya dalam hati.

      Bapak terus menceramahi Ratna dan menjelek-jelekkan Henra. Bapak menyinggung tentang perjodohan. Emosi Ratna semakin naik dan tidak tertahankan. Bahkan, bapak membandingkan Ratna dan ibunya serta kebiasaan di kampung mereka. Perempuan ketika berumur 17 tahun sudah bisa dijodohkan. Bayangan dan kata-kata romantis Henra menyelimuti pikiran Ratna. Ditambah lagi, bapak kurang setuju jika harus melanjutkan kuliah.

      "Bapak, Ratna tidak mau menikah. Ratna ingin kuliah!" teriak Ratna dengan air mata membasahi pipinya. Bapaknya hanya diam. Ibunya mencoba menenangkan Ratna. Ratna menumpahkan kesesalannya lewat air mata di pundak ibunya.

      Bapak mencoba menahan emosinya dan mengambil posisi duduk yang nyaman.

      "Na, kamu kan bisa tetap kuliah walaupun sudah berumah tangga,"

      "Pak, umur Ratna masih 18 tahun. Ratna ingin kuliah seperti Beti," ibunya tetap menenangkan diri Ratna.

      "Kenapa kamu jadi pembangkang sekarang?" nada suara bapak mulai meninggi. Ibu ketakutan. Susi yang dari tadi mengintip dari kamarnya ikut ketakutan. Ibu yang tidak sengaja melihat Susi langsung memberikan kode untuk masuk ke kamar dan menutup pintu.

      "Ratna enggak mau nikah muda, Pak. Bapak saja yang nikah sana atau Ratna keluar dari rumah!"  teriak Ratna. Telinga ayahnya panas mendengar perkataan Ratna.

      "Prakkk" tiba-tiba tangan ayah Ratna melayang di pipi Ratna.

      "Yah, sudah! Jangan main tangan!" teriak Ibu Ratna.

      Ratna pun kaget dengan tamparan keras di pipinya. Baru pertama kali dalam hidup Ratna ditampar bapak. Ratna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis sambil memegang pipinya yang ditampar.

      "Itu yang kamu dapatkan di sekolah melawan orang tua? Percuma bapak banting tulang menyekolahkanmu hanya untuk melawan orang tua?" suara bapak bergetar.  Bapak lansung duduk. Bapak tidak habis pikir apa yang dilakukan Ratna terhadap dirinya.

     Henra yang sedari tadi di balik pagar bersembunyi mendengar dengan jelas apa yang terjadi antara bapak dan Ratna.

      Semua menjadi bisu. Ratna hanya duduk sambil memegang pipinya. Kebenciannya semakin memuncak terhadap bapak. Ibu mencoba memeluk Ratna.

     "Urus anakmu itu!" bapak Ratna langsung masuk ke dalam rumah.

     "Ratna, kenapa kamu begitu kasar sama bapak? Selama ibu menikah dengan bapak dan membesarkanmu, baru kali ini bapak main tangan," kata Ibu Ratna mengingatkan Ratna.

     "Ratna enggak mau menikah dengan Rahmat Bu!" ketus Ratna.

     "Apa gara-gara Henra?"tanya ibunya begitu kesal. Ratna hanya terdiam. Ibunya langsung meninggalkan Ratna dan masuk ke kamar. Di kamar dia menumpahkan air mata yang sedari tadi tertahan.  Sementara itu, terlihat bapak menahan tangis sambil menonton televisi. Dia teringat akan wajah ayah Rahmat yang menyelamatkannya ketika dililit utang.

     "Halo, Sayang! sapa Ratna.

     "Kamu lagi ngapain? Kok suara kayak nangis?" tanya Henra pura-pura.

     Ratna hanya terdiam. Dia tidak sanggup menahan tangisnya.

     "Kenapa? Ada masalah?"

     Ratna pun menceritakan masalah yang baru-baru dialaminya dengan bapak. Henra mencoba menenangkannya.

    "Sebetulnya yang kamu lakukan itu sudah benar. Tidak ada salahnya kamu mempertahankan keinginan kamu," hibur Henra. Hati Ratna pun mulai terhibur, tetapi kebenciannya terhadap bapak semakin memanas.

                                                                                                                              ***

      Ratna keluar dari kamar penuh hati-hati. Terlihat Bapak sedang duduk asyik membaca koran sambil menikmati segelas kopi pahit yang diletakkan di atas meja di ruang tamu. Ratna mencoba pelan-pelan ke kamar mandi agar tidak ditegur oleh Bapak. Baru melangkah beberapa langkah, Ratna dikagetkan oleh adiknya yang masih SD kelas 3, Susi. Bapak menatapnya dari balik koran yang terbuka lebar.

       "Hm... dasar! Mau jadi apa kamu bangun terlalu siang," kata ayahnya begitu sinis.

         Ratna hanya diam dan langsung masuk dan menutup pintu kamar mandi.

          Setelah mandi, Ratna langsung masuk ke kamar dan berganti pakaian. Ibu pun mengetuk pintu Ratna untuk mengajaknya sarapan. Ratna keluar dari kamar dan melihat bapak dan Susi sudah di meja makan. Ratna mengambil kursi dan langsung duduk. Ratna mulai mengambil nasi dan lauk. Bapak hanya diam-diam melirik Ratna yang terlihat masih kesal terhadap dirinya. Ibu juga terdiam. Hanya Susi yang sering berceloteh memanggil ibu.

         "Ratna,..." kata Bapak pembuka percakapan.

          "Mohon kamu jangan salah paham. Bapak ingin memberikan yang terbaik. Kalau kamu enggak setuju tidak apa-apa. Kuliah juga sangat bagus untuk masa depanmu. Tidak ada salahnya kalau kamu kuliah. Kalau itu pilihan hidup kamu, bapak dan ibu akan terus mendukungmu."

          Mendengar perkataan bapak, Ratna langsung berhenti mengunyah makanan di mulutnya. Wajah Ratna langsung semringah.

          "Jadi, Ratna boleh kuliah, Pak?" tanya Ratna dengan hati-hati. Bapak menganggukkan kepalanya. Alangkah bahagianya hati Ratna. Harapannya untuk menjadi mahasiswi akan menjadi nyata yang tiap hari bersama Henra. Mereka memiliki impian kuliah satu kampus, mengerjakan tugas berdua, ikut kegiatan kampus berdua.

          Akhirnya, satu keluarga itu kembali ceria menyantap makanannya tanpa beban. Ratna begitu bersemangat tentang cita-citanya. Kedua orang tuanya bangga akan cita-cita Ratna. Hanya doa yang dapat mereka ucapkan dalam hati. Walaupun berat jika Ratna harus berpacaran dengan Henra.

         "Ingat, kamu harus bertanggung jawab atas segala pilihanmu. Semua hal yang dilakukan pasti ada risikonya," pesan ibu kepada Ratna. Ratna mengiyakan ucapan ibunya dan berjanji akan kuliah dengan benar. Ratna akan bertanggung jawab dengan semua pilihannya. Ratna pun masuk ke kamar dan memberi tahu Henra berita bahagia ini.

                                                                                                                                        ***

       Ratna masih di depan laptop menatap skripsi yang harus direvisi sebelum wisuda. Ratna merasa bahagia atas cita-citanya lima tahun yang lalu untuk menjadi Sarjana Ekonomi. Walaupun Ratna tidak bisa menyelesaikan lebih cepat seperti teman-temannya, dia bangga bisa mempertanggungjawabkan semua pilihannya. Dia membayangkan wajah bapak dan ibunya bangga berfoto bersama Ratna menggunakan toga. Dia pun ingin berjumpa dengan Rahmat yang telah membantu biaya kuliahnya.

      "Mama....," tiba-tiba Ratna dikagetkan oleh Rara. Ratna langsung memeluk Rara.

      "Kamu udah bangun sayang?"

      "Udah, Ma!" Ratna tersenyum melihat Rara yang kini berusia 4 tahun. Rara yang mengajarinya untuk berjuang, bertanggung jawab, dan bersabar. Rara pula telah menyadarkan Ratna untuk menjadi lebih dewasa dan bijak. Ratna memeluk Rara sambil mengingat kejadian 5 tahun yang lalu. Tanpa terasa, air matanya menetes membasahi pipinya. Ratna pun buru-buru menyapu air matanya. Ratna tidak ingin membiarkan kenangan gelapnya melemahkan semangatnya untuk membesarkan Rara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun