Mohon tunggu...
Iin Andini
Iin Andini Mohon Tunggu... Guru - Pribadi

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dan Impian Ratna

21 Juli 2021   21:45 Diperbarui: 21 Juli 2021   22:03 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.suarainqilabi.com/

     "Pasti semua gara-gara Rahmat," gumannya dalam hati.

      Bapak terus menceramahi Ratna dan menjelek-jelekkan Henra. Bapak menyinggung tentang perjodohan. Emosi Ratna semakin naik dan tidak tertahankan. Bahkan, bapak membandingkan Ratna dan ibunya serta kebiasaan di kampung mereka. Perempuan ketika berumur 17 tahun sudah bisa dijodohkan. Bayangan dan kata-kata romantis Henra menyelimuti pikiran Ratna. Ditambah lagi, bapak kurang setuju jika harus melanjutkan kuliah.

      "Bapak, Ratna tidak mau menikah. Ratna ingin kuliah!" teriak Ratna dengan air mata membasahi pipinya. Bapaknya hanya diam. Ibunya mencoba menenangkan Ratna. Ratna menumpahkan kesesalannya lewat air mata di pundak ibunya.

      Bapak mencoba menahan emosinya dan mengambil posisi duduk yang nyaman.

      "Na, kamu kan bisa tetap kuliah walaupun sudah berumah tangga,"

      "Pak, umur Ratna masih 18 tahun. Ratna ingin kuliah seperti Beti," ibunya tetap menenangkan diri Ratna.

      "Kenapa kamu jadi pembangkang sekarang?" nada suara bapak mulai meninggi. Ibu ketakutan. Susi yang dari tadi mengintip dari kamarnya ikut ketakutan. Ibu yang tidak sengaja melihat Susi langsung memberikan kode untuk masuk ke kamar dan menutup pintu.

      "Ratna enggak mau nikah muda, Pak. Bapak saja yang nikah sana atau Ratna keluar dari rumah!"  teriak Ratna. Telinga ayahnya panas mendengar perkataan Ratna.

      "Prakkk" tiba-tiba tangan ayah Ratna melayang di pipi Ratna.

      "Yah, sudah! Jangan main tangan!" teriak Ibu Ratna.

      Ratna pun kaget dengan tamparan keras di pipinya. Baru pertama kali dalam hidup Ratna ditampar bapak. Ratna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis sambil memegang pipinya yang ditampar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun