Definisi Wakaf
Para ahli bahasa menyebutkan bahwa terdapt tiga kata untuk menjelaskan tentang wakaf, yaitu: al-waqf (wakaf), al-habs (menahan), dan at-tasbil (berderma untuk fi sabilillah). Kata al-waqf merupakan bentuk masdar dari ungkapan waqfu asy-syai', yang memiliki artian menahan sesuatu.
Waqaf juga diungkapkan dengan kata al-habsu. Dalam al-qamus al-muhit, al-habsu bermakana al-man'u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu asy-syai' (menahan sesuatu).
Dengan demikian, kata al-habs dan al-waqf mempunyai arti yang sama dan mengandung pengertian al-imsak (menahan), al-man'u (mencegah atau melarang), dan at-tamakkus (diam). Dinyatakan menahan, karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan, dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain dari hal tersebut, al-waqf juga disamakan dengan at-tasbil yang bermakna mengalirkan manfaatnya.
Pengertian Wakaf Menurut Ulama Salaf
Pengertian wakaf secara terminologi sangat berhubungan dengan istilah fiqih, sehingga para ulama berbeda pendapat satu sama lainnya dalam mendefinisikan wakaf. Diantara pendapat ulama salaf mengenai wakaf adalah:
- Abu Hanifah
"Ia (wakaf) adalah menahan harta dari otoritas kepemilikan orang yang mewakafkan, dan menyedekahkan kemanfaatan barang wakaf tersebut untuk tujuan kebaikan."
Berdasarkan pengertian tersebut, wakaf tidak memberikan konsekuensi hilangnya barang yang diwakafkan dari kepemilikan orang yang mewakafkan. Dia [orang yang mewakafkan) boleh saja mencabut wakaf tersebut, boleh juga menjualnya. Karena pendapat yang paling shohih menurut beliau bahwa hukum wakaf ja'iz (boleh) bukan lazim (wajib, mengandung hukum yang mengikat)
- Mayoritas Ulama
"Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue [penghasilan) barang tersebut untuk tuiuan kebaiikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar ini, harta tersebut lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah."
Mereka adalah dua murid Abu Hanifah, pendapat keduanya dijadikan fatwa di kalangan madzhab Hanafiyyah, madzhab Syafi'i, dan madzhab Hanbali menurut pendapat yang paling shahih.
Berdasarkan pengertian tersebut, orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelola wakafnya tersebut dan penghasilan dari barang tersebut disedekahkan sesuai dengan tujuan perwakafan tersebut.
- Madzhab Maliki
"Wakaf adalah si pemilik harta menjadikan hasil dari harta yang dia miliki -meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa- atau menjadikan penghasilan dari harta tersebut, misalnya dirham, kepada orang yang berhak dengan suatu sighat (akad, pernyataan) untuk suatu tempo yang dipertimbangkan oleh orang yang mewakafkan."
Berdasarkan pendapat tersebut, si pemilik harta menahan hartanya itu dari semua bentuk pengelolaan kepemilikan,menyedekahkan hasil dari harta tersebut untuk tujuan kebaikan, sementara harta tersebut masih utuh menjadi milik orang mewakafkan, untuk satu tempo tertentu. Dan perlu digarisbawahi dalam pendapat beliau tentang wakaf tidak bersyarat untuk selama-lamanya. Sama seperti pendapat Mayoritas Ulama, wakaf tidak memutus [menghilangkan) hak kepemilikan barang yang diwakafkan, namun hanya memutus hak pengelolaannya.
- Madzhab Syafi'I
"Penahanan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata dan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah."
Definisi wakaf diatas memperjelas status kepemilikan harta yang tidak lagi dimiliki oleh wakif, baik proses wakaf tersebut dari campur tangan waki atau lainnya. Sedangkan hasil dan manfaat dari harta tersebut dsalurkan untuk tujuan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Dengan menganalisa beberapa pendapat ulama salaf mengenai wakaf, kita bisa menemukan bahwa wakaf merupakan:
- penahanan harta dari orang yang mewakafkan, bisa untuk periode tertentu ataupun selamanya
- hasil dari harta atau manfaatnya disalurkan untuk tujuan kebaikan sesuai dengan amanat wakaf
Pengertian Wakaf Menurut Ulama Kontemporer
Adapun dalam pendapat ulama kontemporer mengenai wakaf, diantara ulama-ulama tersebut adalah:
- Munzir Qahaf
"Wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaatnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, umum maupun khusus."
Dalam pengertian ini, terdapat delapan perkara mengenai wakaf. Pertama, menahan wakaf agar wakif tidak mengkonsumsi atau menggunakan secara pribadi. Kedua, meliputi harta tetap maupun bergerak. Ketiga, pelestarian wakaf dan menjaga keutuhannya sehingga memungkinkan umtuk dimanfaaatkan secara langsung atau manfaat hasilnya secara berulang-ulang.
Keempat, berulang-ulang manfaat dan perkembangannya baik sementara ataupun selamanya. Kelima, meliputi wakaf langsung yang menyebarkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan. Keenam, meliputi jalan kebaikan umum maupun khusus. Wakaf tidak terjadi dengan keinginan satu orang yaitu wakif saja. Kedelapan, pentingnya penjagaan kemungkinan bisa diambil manfaatnya secarqa langsung atau dari manfaat hasilnya.
- Sayyid Sabiq
"Wakaf adalah penahanan harta dan mengambil manfaat dari harta yang ditahan itu untuk tujuan Allah."
Menurut Sayyid Sabiq, wakaf dinyatakan sah dan terwujud dengan adanya salah satu dari dua hal yaitu:
- Perbuatan yang menunjukkan adanya wakaf. Wakaf tidak memerlukan adanya penetapan dari penguasa.
- Ucapan yang terbagi dalam dua macam; ucapan yang jelas dan kiasan. Ucapan yang jelas seperti ucapan pihak yang mewakafkan; aku mewakafkan, aku serahkan sebagai wakaf, aku serahkan di jalan Allah, dan aku serahkan selama-lamanya. Sedangkan kiasan, seperti ucapannya; aku sedekahkan, dengan niat wakaf. Adapun wakaf yang dikaitkan dengan kematian, yaitu seperti dia mengucapkan rumahku, atau kudaku adalah wakaf setelah kematianku, maka ini dibolehkan, karena semua ucapan ini termasuk wasiat. Dengan demikian, pengaitannya setelah kematian dibolehkan, karena ia wasiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H