Mohon tunggu...
Ihram Nur Akrom
Ihram Nur Akrom Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Airlangga

Teknologi adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Potensi dan Hambatan Green Economy di Indonesia

9 Desember 2023   09:00 Diperbarui: 9 Desember 2023   09:03 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Permasalahan lingkungan menjadi tantangan mendesak di era modern saat ini. Bagaimana tidak, permasalahan ini menghadirkan risiko serius terhadap keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan manusia. Perubahan iklim dan pemanasan global yang terus meningkat mengancam umur umat manusia di bumi ini. Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi dalam 10 tahun kedepan pemanasan global akan melampaui 1,5 derajat Celcius. Ancaman terlampauinya batas ini adalah peningkatan laju kepunahan spesies, kegagalan panen, hingga titik kritis dari perubahan sistem iklim berupa kematian koral dan mencairnya es di kutub. Penyebab dari pemanasan global ini tak asing lagi adalah emisi karbon yang disebabkan oleh aktivitas manusia. 

Bukan hanya pemanasan global, meningkatnya kelangkaan sumber daya alam juga mengancam keberlanjutan manusia di bumi. Kelangkaan sendiri diakibatkan oleh kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan jumlah kebutuhan manusia yang terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah manusia. Sumber daya yang dulunya melimpah kini semakin menipis dikarenakan rusaknya ekosistem dan kurang optimalnya produksi. Dampak dari kelangkaan ini berimbas pada kesejahteraan manusia itu sendiri. Seperti meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, tidak terpenuhinya kebutuhan, hingga angka kriminalitas yang melonjak.

Hingga pada Juni 2012 tepatnya pada konferensi Rio+20, tercetuslah sebuah konsep bernama Green economy. Green economy atau ekonomi hijau adalah paradigma ekonomi berkelanjutan yang diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui pembatasan sumber daya alam dan rendah karbon. Konsep green economy menerapkan prinsip ekonomi pada umumnya namun disertai aspek kelestarian lingkungan. Green economy membuka peluang untuk mengubah pola produksi dan konsumsi modern yang saat ini tidak terkontrol.

Green Economy di Indonesia

Permasalahan lingkungan dan sumber daya alam tentunya merupakan permasalahan global yang dialami oleh seluruh negara di dunia, begitu pula di Indonesia. Berikut beberapa potensi dan upaya penerapan Green economy di Indonesia.

1. Energi Baru Terbarukan (EBT)

Peralihan dari energi tak terbarukan seperti bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT) tentu saja menjadi solusi dari permasalahan keterbatasan energi dan sumber daya saat ini. Energi baru terbarukan juga lebih bersih dibandingkan dengan energi tak terbarukan, sehingga dengan menerapkan EBT juga dapat mengatasi permasalahan lingkungan. 

Sudah tak asing lagi ditelinga bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi tinggi untuk penerapan EBT. Hingga paruh pertama tahun 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai total 12.736,7 Megawatt (MW) atau 15% dari total pembangkit. Kontribusi terbesar datang dari sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 6.738,3 MW, disusul dengan PLT Bioenergi, PLT Panas Bumi, PLT Surya dan PLT Bayu. Dengan tingginya potensi dari EBT, bukan hal yang mustahil bahwa suatu saat Indonesia dapat mencapai net zero emission.

2. Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan merupakan salah satu praktik ekonomi hijau yang memiliki dampak besar dalam menghadapi kelangkaan. Hingga saat ini, pertanian masih memegang peran krusial pada beberapa sektor terutama pangan dan gizi. Tak hanya itu, pertanian berkelanjutan juga memberikan kontribusi pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan, sumber daya alam, hingga energi. 

Selain potensi EBT, Indonesia juga memiliki potensi pertanian yang baik didukung dengan lahan yang cukup dan subur. Tanah Indonesia yang subur memudahkan diterapkannya pupuk organik yang ramah lingkungan hingga rotasi tanaman. Rotasi tanaman sendiri adalah praktik penanaman berbagai jenis tanaman secara bergiliran di satu lahan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan tanaman terhadap satu set nutrisi, tekanan hama, dan tekanan gulma. Keberanekaragaman hayati di Indonesia juga berpotensi meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan iklim jika didukung dengan pemahaman dan penerapan pertanian berkelanjutan. Selain itu, status Indonesia sebagai negara beriklim tropis juga mendukung keberlimpahan sumber daya air yang mempermudah pengembangan produktivitas pertanian dan irigasi yang lebih efisien.

3. Transportasi Berkelanjutan

Kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu penyumbang besar pada emisi karbon di dunia. Di Jakarta sendiri, sebanyak 75% polusi udara berasal dari emisi kendaraan bermotor. Sehingga advokasi penggunaan transportasi berkelanjutan seperti kendaraan listrik dan transportasi umum yang ramah lingkungan tentunya merupakan langkah tepat dalam pengurangan emisi.

Keberlimpahan sumber daya nikel di Indonesia lagi-lagi menunjukkan besarnya potensi ekonomi hijau di Indonesia. Indonesia sangatlah kaya akan nikel yang saat ini dibutuhkan sebagai besi baja anti karat dan bahan dari baterai kendaraan listrik. Keberlimpahan ini menjadi potensi dalam pengembangan transportasi berkelanjutan sekaligus hilirisasi di Indonesia yang tentunya menguntungkan perekonomian negara.

4. Daur Ulang dan Pengolahan Limbah

Berbicara tentang daur ulang dan pengolahan limbah, pastinya tidak jauh dari ekonomi sirkular yang sedang marak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di berbagai negara. Ekonomi sirkular adalah model produksi dan konsumsi yang bertujuan untuk memperpanjang umur produk, bahan baku, dan sumber daya, sekaligus meminimalkan pembentukan limbah dan polusi, seperti mendaur ulang bahan dan produk yang sudah ada sepanjang mungkin.

Mengolah limbah merupakan hal penting karena setiap aktivitas manusia pastinya menghasilkan limbah. Limbah yang dibuang sembarangan dapat berdampak buruk pada lingkungan. Di Jepang sendiri, sekitar 40.000 orang yang meninggal akibat mengkonsumsi ikan terkotori raksa yang berasal dari limbah buangan pabrik baterai serta AKI. 

Namun dibalik buruknya limbah, terdapat manfaat yang bisa didapatkan dengan pengolahan dan daur ulang yang tepat, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Laptop Acer Aspire Vero 14 yang terbuat dari limbah plastik, pemanfaatan limbah organik pada pertanian dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, memaksimalkan pengolahan limbah sangatlah menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun segi lingkungan. Terutama Indonesia yang saat ini berada di peringkat ke-4 negara dengan populasi manusia terbanyak di dunia. Hal ini tentu saja meningkatkan potensi limbah di Indonesia. Sayangnya, penerapan daur ulang dan pengolahan limbah di Indonesia dinilai masih rendah sehingga cenderung menimbulkan kerugian. 

Tantangan Green Economy di Indonesia

Dengan mengadopsi green economy, perlahan kita dapat mengoptimalkan produksi dan konsumsi, serta mendukung perkembangan infrastruktur yang berkelanjutan sehingga terbentuklah dasar ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan ramah lingkungan. Namun dalam mewujudkan sebuah impian, pastinya terdapat tantangan. Begitu pula green economy di Indonesia.

1. Kurangnya Investasi

Hambatan pertama dalam mewujudkan ekonomi hijau di Indonesia adalah nilai investasi dari teknologi hijau yang diakui masih cukup tinggi. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur, Eddy Widjanarko mengungkapkan bahwa kesadaran dari pengusaha-pengusaha yang ada di Jawa Timur sejatinya sudah sangat tinggi, namun permasalahannya adalah di investasi. 

Nilai investasi yang dibutuhkan teknologi hijau cukup tinggi karena dianggap masih baru. Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten juga menjadi faktor yang menyebabkan investor kurang tertarik untuk menanamkan modalnya untuk berinvestasi. Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC) merilis sebuah laporan yang menyebutkan sejumlah hambatan pendanaan atau investasi ekonomi hijau untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Hambatan tersebut antara lain, kurangnya instrumen atau peralatan untuk mengukur dampak hijau, kurangnya permintaan klien akan investasi hijau, dan peluang yang tidak sebanding dengan risiko pendanaan jangka panjang.

2. Ketergantungan Terhadap Energi Fosil

Indonesia sampai saat ini masih bergantung dengan ekonomi eksploitatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam, seperti energi fosil. Hal ini dikarenakan kegiatan eksploitasi sumber daya alam dinilai sebagai jalan tercepat dalam mendapatkan keuntungan dengan biaya yang murah. Hingga saat ini mayoritas produksi yang dilakukan di Indonesia masih ditopang oleh energi fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa penggunaan energi batu bara akan tetap dilakukan diperkirakan hingga 2050. Hal tersebut tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dikarenakan keberlimpahan batu bara di Indonesia.

Dibutuhkan strategi dan keberanian untuk beranjak dari energi fosil menuju energi terbarukan. Tentunya mengalihkan penggunaan energi fosil secara spontan dapat mengganggu kestabilan negara, maka dilakukan perkembangan bertahap pada teknologi ramah lingkungan hingga benar-benar terlepas dari ketergantungan energi fosil. Memprioritaskan fokus pembangunan energi pada energi baru terbarukan dan mengupayakan teknologi pemanfaatan batu bara secara hijau merupakan cara untuk melepaskan ketergantungan tersebut.

3. Regulasi “Ribet”

Regulasi pemerintah tentunya memiliki peran penting dalam penerapan ekonomi hijau seperti mengatur dan mengawasi bermacam sektor. Regulasi yang dimaksud bukan hanya sebatas aspek legalitas dan keamanan, tetapi juga kebijakan investasi, perlindungan data dan inovasi teknologi. Melalui regulasi yang jelas, green economy di Indonesia dapat tumbuh secara berkelanjutan dan terhindar dari ketidakpastian hukum yang dapat menghambat perkembangan.

Meskipun begitu, beberapa regulasi dinilai masih kaku dan kompleks sehingga meninggalkan kesan “ribet”. Dampak dari hal tersebut adalah terhambatnya pertumbuhan teknologi, terutama bagi startup dan perusahaan kecil yang tengah berkembang. Proses birokrasi yang panjang dan rumit juga dapat menghambat laju inovasi dan pertumbuhan teknologi, yang berimbas pada kurangnya daya saing Indonesia di pasar global.

4. Hambatan Hilirisasi

Menjadi negara maju tentunya merupakan impian setiap negara tak terkecuali Indonesia. Salah satu strategi yang dapat diterapkan Indonesia adalah industrialisasi. Dengan meningkatkan kualitas industri di Indonesia, kita dapat memaksimalkan keberlimpahan sumber daya yang ada. Daripada menjual barang mentah, lebih baik mengolahnya menjadi produk yang lebih bernilai terlebih dahulu. Melalui cara tersebut, kita dapat memaksimalkan potensi ekspor Indonesia. Konsep ini juga dikenal dengan istilah “Hilirisasi”.

Tetapi kenyataannya, hambatan utama hilirisasi justru datang dari kebijakan global. Program hilirisasi pertambangan Indonesia yang telah dirancang justru diserang dari bermacam pihak mulai dari penggugatan, pengucilan hingga level permintaan penghapusan. 

Pada tahun 2020, kebijakan hilirisasi Indonesia digugat oleh Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tak sampai disitu, produk hilirisasi Indonesia yang masuk di Amerika Serikat juga “dikucilkan” dengan alasan kurang hijau.  IMF (International Monetary Fund) juga menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia perlu dipertimbangkan ulang atau secara singkat dihapuskan. Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menilai bahwa aksi-aksi tersebut merupakan upaya internasional untuk menghambat Indonesia menjadi negara maju.

5. Kurangnya Green Skills 

Mewujudkan era hijau tentunya mustahil tanpa sumber daya yang hijau. Sumber daya manusia Indonesia saat ini dinilai masih minim akan green skills atau keterampilan hijau. Keterampilan hijau merujuk pada pengetahuan dan kemampuan untuk mengembangkan, dan mendukung masyarakat yang berkelanjutan dan efisien sumber daya. Keterampilan ini mencakup engineering skills di bidang lingkungan serta transferable skills dan soft skills yang lebih luas. Beberapa contoh keterampilan hijau meliputi pemantauan jejak karbon, hukum lingkungan, pelaporan keberlanjutan, dan manajemen limbah. Menurut laporan Global Green Skills, pada tahun 2022 perekrutan bakat dengan keterampilan hijau meningkat secara global, namun ketersediaan sumber daya manusianya masih jauh dari yang dibutuhkan. Diperlukan upaya untuk meningkatkan keterampilan pekerja yang saat ini kurang, dan memastikan keterampilan hijau menjadi bagian penting dari keterampilan generasi mendatang.

Dengan terwujudnya green economy di Indonesia, bukanlah hal mustahil untuk meraih predikat negara maju. Beragam manfaat dari green economy tentunya juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga lingkungan. Sehingga cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat terealisasikan dan memberi dampak positif terhadap masyarakat. Namun meraih impian tersebut tentunya tidak mudah, pastinya terdapat hambatan-hambatan yang menjadi tantangan bagi kita, seluruh warga Indonesia. Bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh lapisan masyarakat. Sudah saatnya kita berjalan bersama dalam satu sinergi, Indonesia yang lebih sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun