Mohon tunggu...
Ihshan Gumilar
Ihshan Gumilar Mohon Tunggu... -

Researcher & Lecturer (Neuropsychology)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

02.03

4 Juli 2014   23:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14044662352007841805

Ia nampak letih setelah melakukan penerbangan lebih dari 20 jam. Sesampainya di hotel, ia rendamkan tubuhnya di dalam air panas yang kembali memberikan kekuatan untuk dapat melanjutkan cita-cita utamanya untuk meraih gelar Doktor. Jilatan-jilatan air disetiap pori-pori kulitnya, membuatnya merasa semakin tenang dan mendapatkan kekuatan baru setelah melayang bebas diangkasa dalam waktu yang cukup lama. Aroma di sekitar tempat tinggalnya itu memberikan nuansa romantis dan agak sedikit berbeda. Ia teringat akan sesosok wajah istrinya yang lembut dan manis walaupun agak sedikit berminyak ketika cahaya lampu remang-remang mulai menyentuh. Ia merasa sepi. Benar-benar sepi. Kota kecil yang ia sambangi kini seperti kota mati. Tak banyak orang lalu lalang, yang ada hanya volume salju yang semakin bertambah. Gumpalan-gumpalan salju yang turun secara perlahan memberikan pemandangan yang membuatnya takjub. Apalagi di tambah dengan cahaya-cahaya lampu jalan yang remang-remang. Ia rebahkan dirinya di atas kasur yang empuk. Spring bed yang besar. Warnanya putih. Bed cover yang masih harum mengingatkan ia akan aroma tubuh sang miri. Ia menatap ke kanan dan ke kiri yang ada hanya tembok-tembok yang menjadi temannya yang bisu. Andaikan miri ada disisinya mungkin suasanya akan berbeda. Mungkin dingin tak lagi merangkulnya hingga larut malam.

“Aa, kapan kamu selesai studi nya disana ?”, miri menyapanya dengan nada penuh harapan.

“Miri sayang....aku berusaha sekuat tenaga agar aku bisa selesaikan studi ku ini secepatnya...agar kita bisa sama-sama lagi”, ungkap pria itu sambil menahan rasa rindunya yang semakin hebat menyesakkan setiap sudut dadanya yang agak sedikit berbulu.

“Nanti anak kita mau dikasih nama siapa yah ?”, tanya miri yang mulai bingung mencari nama yang bisa terdegar cihuyyy dikalangan orang-orang indonesia.

“Siapa yah.......hmhmhm....aku juga belum ada ide.”,jawab lelaki yang baru saja menikahinya sekitar 2 bulan sebelum keberangkatanya ke kanada demi sebuah gelar PhD.

“Pokoknya aku mau anak kita, kayak bapaknya nanti...pinter, ganteng, hitam manis, penuh jiwa seni, dan romantiss...sss...ssss..”, suara miri yang mulai terdengar kagum terhadap suaminya itu.

“Siapa dulu dong bapaknya gituh lohhhh.....DISEGANI PRIA DICARI WANITA”, tandasnya cepat.
“Aggh...kamu buat aku cemburu aja sich aa ?...disana jangan nakal yah...matanya dijaga, jangan suka melototin yang blonde-blonde atau yang brunet-brunet lo”, tukas miri yang merasa takut kehilangan dan teringat ketika dulu harus bersaing dengan mantan kekasih suaminya, Dinita Melani Anggoro.

“Sayang...aku akan buat anak kita suatu saat nanti bangga akan ayahnya yang akan meraih gelar doktor....begitu dia lahir aku akan berada disisinya...lalu aku sematkan beberapa nama-nama sang pujangga kelas atas yang pernah aku pelajari dulu. Dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat mendampingimu ketika melahirkan anak pertama kita, sayang”, pria itu mencoba mencoba menguatkan kepercayaan sang istri, sambil berusaha menahan tusukan-tusukan jarum kangen yang semakin membahana disetiap rongga dadanya.

“Aku jadi inget dulu...dinita pernah bilang sama aku : Biarlah kita menjadi karang di tengah lautan, asal jangan menjadi ilalang diantara bunga-bunga”, kutip lelaki yang sangat suka menulis cerpen dan kata-kata filosofis itu.

“Kok kamu sebut-sebut dinita sih, aa ?”, miri terasa di bakar api asmara yang membuatnya menjadi cemburu. Mendengar nama dinita seperti mendengar gelegar halilintar yang tak kunjung putus selama 1.5 jam.

“Kalo itu memang bagus, yah kenapa ngga kita ambil, miri ?...maksudnya biarlah kita terpisah untuk sementara waktu walaupun rasanya memang susah, tapi layaknya karang semakin di terpa ombak maka ia akan semakin kuat....begitu juga dengan kita, semakin kita diuji maka kita akan semakin kuat...dan jangan pernah menjadi ilalang yang selalu bersama bunga-bunga indah di taman, walau kita selalu bersama dan nampak indah tapi kita tak pernah diuji, sekali cobaan besar datang maka kita akan mudah musnah dan tergulung oleh permasalahan yang ada...seperti ilalang ia akan hilang untuk selamanya ketika ditebas dan dicabut akarnya dari taman oleh tukan kebun”, pria itu mulai mengeluarkan jurus-jurus gombal rayuannya untuk meyakinkan sang istri yang semakin jablai- jarang dibelai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun