Plato memperkenalkan prinsip Maieutic, secara harfiah berarti "seni kebidanan," digunakan oleh Socrates (dan kemudian diterjemahkan oleh Plato) untuk membantu individu "melahirkan" kebenaran melalui dialog dan pertanyaan kritis.Â
Prinsip ini tidak hanya mengasah kemampuan analitis tetapi juga membantu seseorang mengidentifikasi asumsi yang tersembunyi dalam pemikiran mereka.Â
Prinsip Maieutic ini dapat diartikan sebagai penalaran yang kesimpulannya general, artinya kesimpulan yang dibuat bisa benar, bisa salah.
Pada periode Helenistik, tradisi logika dikembangkan lebih lanjut oleh kaum Stoik dan Epicurean, yang memperkenalkan bentuk-bentuk argumen logis lainnya, seperti proposisi dan implikasi.Â
Tradisi ini kemudian menjadi dasar penting bagi pemikiran skolastik di Abad Pertengahan.
Selama Abad Pertengahan, logika Aristotelian menjadi landasan bagi tradisi skolastik, sebuah pendekatan yang mengintegrasikan filsafat Yunani dengan teologi Kristen.Â
Tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas dan Peter Abelard menggunakan logika untuk menyusun argumen teologis yang sistematis.Â
Pada masa ini, logika dipandang sebagai seni untuk mengklarifikasi dan memperkuat kepercayaan agama melalui penalaran.
Memasuki era modern, logika mengalami revolusi dengan lahirnya logika simbolik.Â
George Boole memperkenalkan sistem aljabar logika dalam karyanya The Laws of Thought (1854), yang memungkinkan representasi logis menggunakan simbol-simbol matematis.Â
Gottlob Frege, di sisi lain, memperluas pendekatan ini dengan menciptakan dasar logika predikat, yang menjadi pilar dalam analisis matematika dan bahasa.