Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu instrumen fiskal yang memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian. Pengenaan tarif PPN 12 persen, yang baru-baru ini menjadi perhatian serta penolakan, membawa berbagai implikasi bagi masyarakat, dunia usaha, dan harga barang di pasar.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemerintah yang tidak memberlakukan PPN 12 persen hanya pada beberapa barang dan jasa, kondisi harga pasca-putusan tersebut, serta dampaknya pada pelaku usaha.
PPN Tetap naik 12 Persen dan Pengecualian Barang serta Jasa
Kebijakan tidak memberlakukan PPN 12 persen terhadap sejumlah barang dan jasa tertentu mencerminkan langkah pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya di tengah tantangan ekonomi global. Beberapa barang pokok, seperti beras, gula, dan bahan pangan lainnya, termasuk dalam kategori bebas PPN.
Selain itu, jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik juga dikecualikan. Langkah ini terkesan hanya sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa pemerintah akan memastikan kebutuhan dasar masyarakat tetap terjangkau. Pernyataan dari pemerintahan Prabowo ini sangat aneh, karena memang tidak ada signifikansinya dengan penolakan masyarakat, dalam arti PPN 12 persen ini tetap berlaku atau naik tahun 2025.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dan keberlanjutan penerapannya. Dalam beberapa kasus, batasan kategori barang dan jasa yang dikenakan atau dikecualikan PPN dapat menciptakan ambiguitas.
Sebagai contoh, produk olahan tertentu mungkin dikenakan PPN, sementara bahan mentahnya bebas pajak. Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan harga di pasar dan kebingungan di kalangan konsumen.
Kondisi Harga di Pasar Pasca-Kebijakan PPN 12 Persen
Pasca-putusan PPN 12 persen, berbagai reaksi muncul dari pelaku pasar. Harga-harga barang yang termasuk dalam kategori dikenakan pajak mengalami kenaikan signifikan.