Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa PPN 12% Ditolak Keras oleh Masyarakat?

31 Desember 2024   19:20 Diperbarui: 5 Januari 2025   07:05 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak Kenaikan Pajak: Masyarakat Menghadapi Lonjakan Harga (Sumber: Igon Nusuki)

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12% (PPN 12%) yang direncanakan oleh pemerintah telah memicu gelombang kritik dan penolakan dari masyarakat. Kebijakan ini dianggap memberatkan karena diterapkan pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19. Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembangunan nasional dan pemulihan ekonomi. Namun, banyak pihak menilai kebijakan tersebut tidak tepat waktu dan kurang memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artikel ini akan membahas alasan-alasan utama di balik penolakan kebijakan tersebut.

Beban Ekonomi yang Meningkat

Salah satu dampak langsung dari kenaikan PPN adalah peningkatan harga barang dan jasa. Pajak ini diterapkan pada sebagian besar transaksi, sehingga lonjakan PPN akan menyebabkan harga kebutuhan sehari-hari melonjak, meskipun beberapa barang kebutuhan pokok dikecualikan. Kondisi ini akan memperburuk daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah.

Pada saat daya beli masyarakat masih rapuh akibat pandemi, kebijakan ini dianggap memberatkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi meningkat sebesar 4% pada tahun sebelumnya, yang sebagian besar didorong oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Dengan kenaikan PPN, inflasi diperkirakan akan terus meningkat, sehingga menekan daya beli rumah tangga.

Kelompok masyarakat miskin adalah yang paling rentan terhadap dampak kebijakan ini. Ketika sebagian besar pendapatan digunakan untuk kebutuhan pokok, kenaikan harga akibat pajak yang lebih tinggi akan memaksa mereka untuk mengurangi pengeluaran di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Juga jangan lupa, beberapa waktu lalu pemerintah telah menaikan harga BBM bersubsidi yang tentunya menaikan harga barang dan jasa di hampir semua lini kehidupan masyarakat. Hal ini berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi dan semakin membebani masyarakat Indonesia.

Ketimpangan dalam Pembagian Beban Pajak

PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan secara universal kepada konsumen. Hal ini berarti, pajak ini bersifat regresif, di mana masyarakat berpenghasilan rendah menanggung beban pajak yang lebih besar secara proporsional dibandingkan masyarakat kaya. Misalnya, bagi keluarga berpenghasilan rendah, pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan transportasi dapat mencapai 70-99% dari total pendapatan mereka, sedangkan untuk keluarga kaya, proporsinya jauh lebih kecil.

Ketimpangan ini menimbulkan kritik bahwa kebijakan kenaikan PPN tidak adil. Dalam situasi ekonomi yang sulit, masyarakat berharap pemerintah lebih fokus pada pajak langsung, seperti pajak penghasilan, yang lebih progresif dan membebani masyarakat kaya secara proporsional. Namun, implementasi pajak langsung seringkali terkendala oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia.

Kurangnya Kepercayaan terhadap Pengelolaan Anggaran

Keberatan lain terhadap kenaikan PPN adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan anggaran negara. Meskipun pajak merupakan sumber utama pendapatan negara, masyarakat sering kali mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut. Kasus korupsi dan proyek infrastruktur yang dianggap tidak efisien telah memperkuat skeptisisme publik.

Misalnya, laporan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa masih terdapat banyak proyek pemerintah yang tidak sesuai dengan anggaran atau gagal memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat. Kondisi ini membuat masyarakat merasa bahwa peningkatan pendapatan pajak tidak akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan mereka.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran sering menjadi sorotan. Masyarakat menginginkan kepastian bahwa pajak yang mereka bayar digunakan untuk program-program yang berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Kurangnya komunikasi dari pemerintah mengenai bagaimana kenaikan PPN akan digunakan juga memperburuk persepsi negatif terhadap kebijakan ini.

Minimnya Sosialisasi dan Dialog Publik

Kebijakan kenaikan PPN juga dikritik karena kurangnya sosialisasi yang memadai. Banyak masyarakat merasa bahwa kebijakan ini diumumkan secara mendadak tanpa melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat.

Sebagai contoh, kebijakan serupa di negara lain biasanya diiringi dengan kampanye publik yang komprehensif untuk menjelaskan manfaat dan dampaknya. Namun, di Indonesia, sosialisasi yang minim membuat banyak masyarakat tidak memahami alasan di balik kebijakan ini. Akibatnya, ketidakpuasan publik semakin meningkat.

Selain itu, dialog antara pemerintah dan para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan kelompok masyarakat sipil, juga sangat terbatas. Padahal, masukan dari berbagai pihak dapat membantu pemerintah merancang kebijakan yang lebih inklusif dan diterima oleh masyarakat.

Alternatif Kebijakan yang Lebih Inklusif

Sebagai solusi, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan alternatif yang lebih inklusif yang tidak hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara tetapi juga mengutamakan keadilan sosial. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat penerimaan dari pajak penghasilan dengan meningkatkan kepatuhan pajak melalui digitalisasi sistem perpajakan. Sistem ini akan mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, sekaligus meningkatkan transparansi dan efisiensi.

Selain itu, pemerintah dapat mengimplementasikan skema insentif untuk masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pemberian subsidi atau bantuan langsung tunai yang ditargetkan secara tepat sasaran. Langkah ini bertujuan untuk memitigasi dampak kenaikan PPN terhadap daya beli kelompok masyarakat rentan. Misalnya, subsidi pada barang kebutuhan pokok dapat membantu mengurangi beban masyarakat sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.

Lebih jauh, kebijakan reformasi pajak juga harus melibatkan dialog aktif dengan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan pelaku usaha, untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan. Dengan pendekatan yang lebih inklusif ini, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal.

Kesimpulan

Kenaikan PPN menjadi 12% ialah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi implementasinya memerlukan pertimbangan yang lebih matang. Penolakan masyarakat mencerminkan kekhawatiran yang valid terhadap dampak kebijakan ini pada kehidupan sehari-hari, khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Pemerintah perlu mengupayakan solusi yang lebih inklusif, seperti peninjauan ulang kebijakan, perbaikan komunikasi publik, dan pemberian insentif bagi kelompok rentan. Dengan demikian, kebijakan pajak dapat diterapkan secara lebih adil dan efektif, serta mendapat dukungan dari masyarakat luas. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mewujudkan tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Referensi

Center of Economic and Law Studies (Celios). (2024, Desember 24). Laporan Celios: Kenaikan PPN 12% Berpotensi Turunkan Daya Beli Masyarakat dan Perlambat Ekonomi. NU Online. Diakses dari https://www.nu.or.id/nasional/laporan-celios-kenaikan-ppn-12-berpotensi-turunkan-daya-beli-masyarakat-dan-perlambat-ekonomi-KjdQq

Fajry, T. (2024, Desember 24). PPN 12% Berlaku per 1 Januari 2025, Daya Beli Warga RI Aman?. CNBC Indonesia. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20241224071552-4-598356/ppn-12-berlaku-per-1-januari-2025-daya-beli-warga-ri-aman

Indef. (2024, Desember 24). PPN 12 Persen, Kebijakan Adil atau Tambahan Beban untuk Rakyat?. Kompas.id. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/ppn-12-persen-kebijakan-adil-atau-tambahan-beban-untuk-rakyat

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024, Desember 24). Perubahan Tarif PPN 12%, Wujudkan Keadilan dan Kesejahteraan. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Tarif-PPN-12-Wujudkan-Keadilan

Tempo.co. (2024, Desember 24). Dampak Kenaikan PPN 12 Persen Menurut Para Pengamat Ekonomi. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/dampak-kenaikan-ppn-12-persen-menurut-para-pengamat-ekonomi-1171352

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun