"Kang, ana penemuan Piramid nang Panusupan, kae viral nang medsos. Jajal rika tiliki..," selarik pesan itu masuk disertai screen shoot gambar pilar-pilar batu kekar yang menggores bukit.
Sekarang ini, hal tekait sejarah, wisata atau budaya di Purbalingga, saya seringkali tercolek, mulai sekedar nanya, mengonfirmasi sesuatu, menjadi narasumber sampai protes dan ngajak debat, termasuk soal 'piramid' di Panusupan itu.
Tentang hal itu, saya sebenarnya sudah tahu. Teguh Pratomo alias Kang Toge, senior di PPA Gasda sudah bertandang ke sana dan menulis untuk gasda.id dengan tajuk 'Menemu Kenali Tiang-Tiang Kekar di Talun Wringin'. Sudah dijelaskan temuan tersebut dengan gamblang merupakan fenomena geologi.
Namun, yang kemudian viral di media sosial adalah berbagai macam analisis, mulai yang bilang bentukan alam dari peristiwa geologi, candi purba, piramida, bangunan peninggalan kerajaan, hasil karomah wali, tinggalan legiun 'Transformers', bahkan sampai ada yang bilang gerbang menuju alam lain.
Oleh karena itu, saya menginisiasi 'Jelajah Talun Wringin' pada Minggu (3/09/2023) untuk mendokumentasikan secara lebih terstruktur sekaligus menguak selapis misteri pilar-pilar batu kekar di Talun Wringin itu. Ada penggemar sejarah, pecinta alam, pegiat wisata, content creator, relawan, dan tentunya bersama warga setempat.
Kami berangkat dengan titik kumpul langsung di Balai Desa Panusupan, Kecamatan Rembang. Kang Isro dan tim dari desa sudah menunggu di sana. Setelah berkumpul, dari kami briefing sebentar dipimpin Mbak Leni dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Kemudian, perjalanan berlanjut ke Dusun Bojongbaru sebagai pemberhentian sebelum mulai mendaki.
Catatan : Jalan dari Balai Desa ke Bojongbaru berkelok, menanjak, dan sempit. Jika tak lihai berkendara, jangan coba-coba ya... hehe.
Mendaki Menuju Talun Wringin
Kami start sekitar pukul 9.00 WIB. Sinar mentari yang tak begitu terik menjadi sahabat yang mengiringi perjalanan kami. Tak terburu-buru karena kami ingin menikmati langkah demi langkah mendaki. Satu jam pertama melewati kebun-kebun warga di Sawah Alas sampai Klesem. Jalan menanjak membuat kami cukup ngos-ngosan, otot kaki menegang. Jalurnya tak beda dengan mendaki gunung.
Umur yang sudah memasuki kepala empat memang tak bisa bohong. Setiap sepuluh menit sekali berhenti untuk menghela nafas, minum sembari menikmati pemandangan. Beda banget dengan Si Bocil Gaga yang ikut jelajah kali ini. Bagi dia, jalan menanjak malah menjadi wahana permainan yang mengasyikan.
"Cape nggak, Ga?"
"Nggak Pah, Seru!" ujarnya seraya berjalan semakin meninggalkanku
Hikayat 'Watu-Watu' Talun Wringin
Setelah Klesem, sudah banyak muncul batuan di permukaan tanah. Ada batu superbesar yang disebut watu gua kemudian ada juga watu payung. Sampai di tempat yang disebut Alas Panggean, konfigurasi batu-batu semakin menonjol. Banyak batu-batu itu oleh warga dinamai sesuai kemiripan bentuk, seperti tadi watu gua, dan watu payung. Ada lagi watu susu karena seperti payudara. Ada juga watu tatar (udak-undakan pada pohon kelapa). Mbah Waryono yang menjelaskan ke kami penamaan batu-batu itu.
Soal air tak usah khawatir. Ada sungai kecil yang di musim kemarau seperti ini masih mengalir jernih dengan debit cukup besar. Namanya Kali Ciwek. Gaga tak kuat menahan hasrat untuk tak kecipakan sembari mencicipi airnya langsung. "Ada manis-manisnya, Pah," katanya.
Jalan semakin terjal. Kurang lebih dua jam perjalanan, setelah melewati Alas Panggean, sampailah di Talun Wringin. Pemandangan menawan menyapa mata. Tepat di depan kami, formasi batu-batu bak pilar raksasa menggurat dinding bukit. Seolah mirip bangunan purba yang tersusun dari balok-balok panjang. Kolom batunya juga tampak simetris. Ada yang segilima, segienam.
Tak heran jika rupa-rupa analisis tentang bangunan itu muncul. Sekilas memang tampak seperti hasil mahakarya manusia dari masa lampau, entah itu candi atau piramida. Apalagi jika sekadar melihat dari foto yang angle-nya bisa berbeda dan menimbulkan banyak interpretasi.
Kemudian, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Nusantara jika melihat fenomena mengagumkan dan sukar dijangkau nalar, seringkali mengaitkannya dengan kesaktian, mukjizat atau hasil bantuan jin dan semacamnya. Maka, muncullah pendapat bahwa itu adalah istana kerajaan masa lampau, sampai gerbang menuju alam gaib.
Untuk pilar-pilar batu itu sendiri sudah dijelaskan bahwa merupakan hasil fenomena geologi yang disebut columnar joint alias kekar kolom. Batu-batu itu terbentuk alami dari erupsi magma gunung api jutaan tahun silam yang terperangkap dan membeku. Namun, memang banyak bangunan untuk keperluan ritual dan budaya masyarakat purba sampai era Hindu-Buddha yang memanfaatkan batu-batu kekar kolom.
Jadi, asal-muasalnya fenomena geologi, batu yang terbentuk alami. Akan tetapi, bisa menjadi tinggalan arkeologi setelah dipindah, ditata, dipoles dan difungsikan untuk keperluan manusia. Misalnya, pada era megalitikum lazim digunakan untuk menhir, dolmen atau punden berundak. Pada era Hindu-Buddha dijadikan yupa, prasasti atau dipoles menjadi candi, lingga, yoni, dan lainnya.
Apalagi, di Desa Panusupan ditemukan banyak artefak kebudayaan seperti lingga dan yoni. Kemudian, Babad Perdikan Cahyana juga menyebutkan alas Bojongsana di mana bukit Talun Wringin berada sebagai jalur perjalanan Raden Munding Wangi menjemput wahyu dan kemudian menjadi Syeh Jambu Karang yang melegenda di Purbalingga.
Sebelumnya sudah saya tulis dan selengkapnya bisa dibaca di sini.
Untuk pilar-pilar batu di Talun Wringin sendiri, warga setempat menamakan sebagai watu entep (berjajar berimpitan). Tak ada cerita rakyat turun-temurun (folklore) akan dinding batu itu. Hanya toponimi, talun artinya 'hutan' dan wringin bermakna 'pohon beringin/ karena konon dulu banyak pohon beringin. Puncak Talun Wringin disebut dengan Igir Wringin.
Sayangnya, pohon beringinnya sudah tak bersisa. Cerita Kang Isro dulu ditebang karena menjadi sarang kawanan monyet. Nah, gerombolan Wanara itu seringkali menjadi hama untuk tanaman di ladang warga.
Kami cukup lama menikmati, mencermati, dan mengagumi pilar-pilar raksasa di Talun Wringin. Betapa istimewa ciptaan Tuhan. Kami sempatkan mengambil gambar dan video juga berdiskusi di pangkal formasi pilar kekar Talun Wringin
Igir Wringin
Setelah puas berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke puncak talun yang disebut Igir Wringin. Kang Tursan membawakan kami nasi rames. Ada juga ada gethuk singkong dari Mbak Leni. Plus bekal kopi/teh yang kami seduh, puncak igir menjadi 'restoran' dengan rumput mengering menjadi alas duduk dan meja makannya.
Selesai lunch dan bersantai, kami menikmati pemadangan dari Igir Wringin. Tampak jelas dari atas bukit itu 'sisik-sisik naga' yang membelah bukit. Suasananya asyik. Angin bertiup sepoi-sepoi. Matahari, meski tepat di siang hari bolong, juga tak terlalu menyengat.
Dulu Igir Wringin sempat dikelola pegiat wisata Desa Panusupan. Icon-nya ada rumah pohonnya. Sempat cukup viral sebagai salah satu spot destinasi wisata di Purbalingga. Pada area itu ada lokasi yang disebut mushola. Titik kiblatnya yang ditunjukkan Kang Isro di kompas oleh Yoyo, pas!
Saat ini, Igir Wringin mulai berbenah. Rumah pohon dibuat kembali. Jalanan setapak menuju igir juga sudah mulai dibersihkan.
Saat di rumah pohon, Uus mengambil gambar dengan menerbangkan drone. Eh, ada kejutan. Sepeminuman teh, seekor elang melayang-layang. Tampaknya Elang Jawa, Nizaetus bartelsii, burung raptor yang memang ada di kawasan perbukitan sisik naga itu. Mungkin dia terusik oleh drone atau biasa juga penasaran. Uus cepat-cepat menarik drone-nya, khawatir dipatuk Sang Elang, hehe. Sepembakaran rokok kemudian, elang itu menghilang di balik rerimbunan pohon.
Setelah puas menikmati Igir Wringin, kami pulang melewati jalan berbeda. "Lebih curam tapi lebih cepat," begitu kata Mbak Leni. Ada masalah sama Gaga, dia rada fobia ketinggian rupanya, tak berani berjalan, takut, ngeri. Akhirnya, dia ngesot saat menuruni bukit. Namun, pantatnya lama-lama sakit. Akhirnya mau juga dituntun, jalan sendiri -- bisa - biasa - ngacir.
Gaga jauh mendahului. Sementara aku, jalanan turun curam serasa lebih berat. Ujung kaki harus menahan, berbenturan dengan sol sepatu. Capai gak begitu, tetapi jari kaki sakit, kempol menegang. Ternyata bukan hanya aku, Uus juga. "Aku hampir gak kuat, Bang, mau pingsan rasanya, mendingan pas nanjaknya," ujarnya saat sampai di bawah.
Ya, memang lebih cepat, tetapi jalur lebih curam dan membuat kaki sakit. "Lama banget, Pah, turunnya, cemeen!" ujar Gaga tengil saat aku sampai. Sakarepmu lah Ga! Papamu 'byuk-byukan' banjir keringet malah diledekin.
Meski cape, hari itu menyenangkan bisa melihat fenomena alam ciptaan Tuhan yang luar biasa sekaligus healing menikmati keindahan alam... dan... selapis misteri pilar-pilar kekar di Talun Wringin pun terkuak.
Salam Lestari
Salam Historia Perwira
Salam Purbalingga Memikat
Ahai.. serr..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H