Kami start sekitar pukul 9.00 WIB. Sinar mentari yang tak begitu terik menjadi sahabat yang mengiringi perjalanan kami. Tak terburu-buru karena kami ingin menikmati langkah demi langkah mendaki. Satu jam pertama melewati kebun-kebun warga di Sawah Alas sampai Klesem. Jalan menanjak membuat kami cukup ngos-ngosan, otot kaki menegang. Jalurnya tak beda dengan mendaki gunung.
Umur yang sudah memasuki kepala empat memang tak bisa bohong. Setiap sepuluh menit sekali berhenti untuk menghela nafas, minum sembari menikmati pemandangan. Beda banget dengan Si Bocil Gaga yang ikut jelajah kali ini. Bagi dia, jalan menanjak malah menjadi wahana permainan yang mengasyikan.
"Cape nggak, Ga?"
"Nggak Pah, Seru!" ujarnya seraya berjalan semakin meninggalkanku
Hikayat 'Watu-Watu' Talun Wringin
Setelah Klesem, sudah banyak muncul batuan di permukaan tanah. Ada batu superbesar yang disebut watu gua kemudian ada juga watu payung. Sampai di tempat yang disebut Alas Panggean, konfigurasi batu-batu semakin menonjol. Banyak batu-batu itu oleh warga dinamai sesuai kemiripan bentuk, seperti tadi watu gua, dan watu payung. Ada lagi watu susu karena seperti payudara. Ada juga watu tatar (udak-undakan pada pohon kelapa). Mbah Waryono yang menjelaskan ke kami penamaan batu-batu itu.
Soal air tak usah khawatir. Ada sungai kecil yang di musim kemarau seperti ini masih mengalir jernih dengan debit cukup besar. Namanya Kali Ciwek. Gaga tak kuat menahan hasrat untuk tak kecipakan sembari mencicipi airnya langsung. "Ada manis-manisnya, Pah," katanya.
Jalan semakin terjal. Kurang lebih dua jam perjalanan, setelah melewati Alas Panggean, sampailah di Talun Wringin. Pemandangan menawan menyapa mata. Tepat di depan kami, formasi batu-batu bak pilar raksasa menggurat dinding bukit. Seolah mirip bangunan purba yang tersusun dari balok-balok panjang. Kolom batunya juga tampak simetris. Ada yang segilima, segienam.
Tak heran jika rupa-rupa analisis tentang bangunan itu muncul. Sekilas memang tampak seperti hasil mahakarya manusia dari masa lampau, entah itu candi atau piramida. Apalagi jika sekadar melihat dari foto yang angle-nya bisa berbeda dan menimbulkan banyak interpretasi.
Kemudian, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Nusantara jika melihat fenomena mengagumkan dan sukar dijangkau nalar, seringkali mengaitkannya dengan kesaktian, mukjizat atau hasil bantuan jin dan semacamnya. Maka, muncullah pendapat bahwa itu adalah istana kerajaan masa lampau, sampai gerbang menuju alam gaib.