Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kejutan dari Elang Jawa di Hulu Sungai Serayu  

25 Agustus 2015   12:47 Diperbarui: 25 Agustus 2015   12:47 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Elang Jawa (Nizaetus Bartelsii) tengah bertengger (Foto : www.tempo.co)"][/caption]

Siang itu cuaca amat cukup terik, kami Tim Ekspedisi Serayu 2015 tengah beristirahat makan siang di tepi sungai yang ada di kawasan Desa Tambi, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Tiba-tiba di atas tebing sungai terbang seekor burung besar berputar-putar. “Oi, kita bertemu dengan Elang Jawa,” ujar Pak Aziz Baihaqi, senior dari Sekber Pecinta Alam Banjarnegara yang menjadi pimpinan pemandu pada ekspedisi ini.

Surprise…! Saya cukup terkejut. Benarkah kita berjumpa dengan Elang Jawa yang sudah hampir punah itu? Jika benar, itu benar-benar kejutan pada Ekspedisi Serayu 2015 di perjalanan hari kedua itu. Saya segera meminta tim dokumentasi untuk memotret elang itu. Kemudian, dengan mata telanjang dan bantuan lensa kamera, saya juga mengamati burung itu. Saya catat ciri-ciri morfologis dan perilaku terbangnya.

Ternyata, kejutan tidak berhenti disitu. Pada hari ketiga, saat kami sampai di Curug Sikantong, Desa Maron, Kecamatan Garung jenis burung yang sama pamer kegagahan dengan terbang berputar beberapa kali diatas kami. Sekitar 500 m kami menyusur sungai dan sampai di Curug Silumbu, seekor lagi juga terbang berputar-putar. Mungkin dia terganggu atau bisa jadi tertarik dengan kedatangan kita sehingga keluar dari persembunyiannya dan terbang menampakan diri.

Sayang tim dokumentasi kami kurang sigap memotret burung itu sehingga penampakan yang ditangkap kamera kurang maksimal. Untuk memastikan burung elang yang kami temui adalah elang jawa, kami cocokan ciri-ciri morfologi dengan berbagai referensi, salah satunya ‘Panduan Pengenalan Burung-burung di Jawa’ dari MacKinnon dkk, 1998. Selain itu, keyakinan kami bertambah karena kawasan Pegunungan Dieng tempat kami berjumpa memang merupakan salah satu habitat raptor itu seperti ada dalam temuan Vincent Nijman peneliti University of Amsterdam dan Iwan Setiawan dari Yayasan Pribumi Alam Lestari. Dengan ciri morfologi yang kami liat, referensi dan informasi dari masyarakat sekitar, kami cukup yakin bahwa burung yang kami temui itu adalah Elang Jawa, Sang Garuda.

[caption caption="Elang Jawa terbang tinggi di angkasa (Foto : Tim Ekspedisi Serayu 2015)"]

[/caption]

Perjumpaan mengejutkan dengan burung yang diduga kuat adalah Elang Jawa yang memiliki nama latin Nizaetus bartelsii (dulu dikenal spizaetus bartelsii) ini tentu saja menggembirakan. Pasalnya, Elang Jawa oleh ahli ornitologi disebut sebagai satu dari beberapa jenis elang yang terlangka di dunia. Konvensi Internasional tentang Perdagangan Jenis Satwa dan Tumbuhan Langka (CITES) memasukkannya dalam apendix I yang artinya sudah terancam punah dan dilarang untuk diperdagangkan. Di Indonesia, Elang Jawa juga memiliki tempat khusus karena kemiripannya dengan Burung Garuda. Presiden Suharto lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1993 tentang Flora dan Fauna Nasional menetapkan Elang Jawa sebagai Satwa Kebanggaan Nasional.

Saat ini, populasinya di alam berdasarkan survey terakhir diperkirakan hanya berkisar 81-108 pasang saja (Sözer et al., 1998). Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) dan Raptor Indonesia  yang melakukan penelitian terhadap Elang Jawa selama 15 tahun terakhir juga memaparkan bahwa satwa ini hampir punah. Sejak 2005 hingga 2010, setidaknya 110 ekor elang Jawa sudah hilang atau sedikitnya 22 pasang elang Jawa hilang setiap tahunnya. Jika hal ini dibiarkan, pada 2025 Elang Jawa diprediksi sudah punah (Rakhman, 2012). Organisasi Konservasi Dunia (IUCN) juga sudah jauh hari memasukan Elang Jawa dalam Checklist of Threatened Bird Species dengan kriteria langka (endangered).

Elang Jawa memang merupakan spesies yang menghadapi resiko kepunahan karena berkurangnya habitat karena penebangan liar atau berubah peruntukannya untuk kepentingan pertanian, pemukiman, wisata dan lainnya. Wilayah hutan di hulu Sungai Serayu sendiri tak luput dari kerusakan. Perkebunan sayur mayur dan tembakau sudah mengekspansi sampai ke tebing-tebing sungai, hanya sedikit hutan alami yang tersisa. Oleh karena itu, perjumpaan dengan Elang Jawa di hutan yang tersisa di wilayah hulu Sungai Serayu merupakan kabar gembira bagi pelestarian satwa langka itu.

Satwa ini memiliki ciri morfologi mempunyai jambul di kepala, badan langsing dengan total panjang tubuh 60-70 cm. Terdapat beberapa fase warna tubuh sesuai dengan perkembangan usia. Pada burung dewasa jambul terlihat panjang berjumlah dua sampai empat bulu berwarna coklat kehitaman dan pada ujung jambul ada garis keputihan. Bulu bagian atas kepala coklat kehitaman terlihat garis pada pinggir paruh. Bulu pada dagu memutih dan tampak garis kehitaman pada dagu tersebut. Bulu dadanya putih pucat dan terlihat titik-titik bulat panjang berwarna coklat kehitaman. Remaja, bagian dadanya berwarna berontok putih dan coklat karat. Strip hitam di dada dan kaki belum nampak dan berangsur-angsur akan semakin jelas menjelang dewasa (MacKinnon dkk., 1998).

Elang Jawa merupakan spesies endemik di Jawa, umumnya dijumpai pada hutan primer, dan terkadang dapat dijumpai pada hutan sekunder, hutan produksi, hutan tropis semideciduous dengan ketinggian dapat mencapai 3000 m. Hutan di sekitar Dataran Tinggi Dieng memang tercatat sebagai habitat Elang Jawa, selain kawasan hutan di Pulau Jawa lainnya seperti Ujung Kulon, Gunung Slamet, Gunung Merapi sampai ke kawasan Taman Nasional Meru Betiri.

Keberadaan Elang Jawa tercatat di 66 lokasi di seluruh Pulau Jawa. Beberapa catatan perjumpaan berasal dari kawasan berhutan yang masih luas. Catatan perjumpaan Elang Jawa banyak berasal dari hutan perbukitan dan mungkin karena itulah satwa ini secara ekologis disebut “spesies lereng” (Sözer et al., 1998). Perjumpaan Tim Ekspedisi Sungai Serayu dengan burung ini juga di wilayah yang berlereng terjal. Hutan alami di lereng yang belum terjamah kegiatan pertanian itu menyisakan tempat bagi Elang Jawa untuk bersarang dan mencari mangsa.

Mereka tidak hidup berkelompok, melainkan berpasangan. Setiap pasangan mempunyai daerah kekuasaan (teritorial) sendiri-sendiri yang akan selalu dipertahankan dan bila ada yang masuk ke wilayahnya, akan segera diusir. Batas daerah teritorial ditandai dengan melakukan gerakan terbang turun naik yang disebut displai (display) di sepanjang batas wilayahnya. Elang Jawa berburu dari tempatnya bertengger didalam hutan atau terbang rendah di atas tajuk kemudian terbang turun ke dalam dedaunan (Sözer et al., 1998). Elang Jawa yang ditemukan Tim Ekspedisi Serayu tengah terbang bebas, berputar-putar, sendirian.

Elang Jawa seperti halnya burung pemangsa lain adalah burung pemakan daging. Burung tersebut memiliki paruh yang melengkung berujung runcing untuk mencabik makanan dan menggunakan kakinya untuk menangani mangsa sebelum dimasukkan kedalam mulut.Tercatat beberapa jenis hewan yang menjadi makanan dari Elang Jawa, terutama dari jenis mamalia pohon berukuran kecil hingga sedang seperti tikus, tupai, kelelawar, anak monyet, dan burung seperti kerabat merpati dan ayam kampung serta jenis-jenis reptil atau binatang melata seperti ular dan kadal.

Spesies ini lebih suka hutan primer yang belum terganggu, namun elang juga sudah bisa beradaptasi dengan memanfaatkan hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, tetapi yang lokasinya berdekatan dengan hutan primer yang luas karena sangat mempengaruhi keberhasilan pembiakannya (Rov dkk., 1997 dalam Sozer, 1999). Hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan makanan Elang Jawa yang dapat diitemukan di area-area tersebut. Umumnya area pertanian ataupun hutan kaliandra sebagai area berburu Elang Jawa berdekatan dengan hutan alami.

Selain elang, banyak juga ditemukan fauna di sepanjang zona riparian Sungai Serayu yang bisa sebagian merupakan mangsa elang. Hal itu berdasarkan perjumpaan langsung, temuan berupa jejak dan kotoran serta hasil wawancara masyarakat sekitar. Dari keluarga aves atau burung-burungan ditemukan diantaranya burung cucak urang (Chloropsis sp), kutilang (Pygnonotus aurigaster), walet (Apus apus), trinil (Tringa glareola), blekok (Ardeola specisoa), tengkek (Eurystomus orientalis), engkak, kurwok. Sementara dari keluarga reptil ditemukan biawak/menyawak (Varanus salvator) dan ular. Kemudian berbagai macam mamalia juga ditemukan di zona riparian Sungai Serayu seperti lingsang (Prionodon lingsang), luwak (Paradoxurus hermaproditus), musang/rase (Vivericula Indica), bajing (Callosciurus notatus), owa jawa (Hylobates moloch), lutung (Thracypithecus auratus), babi jawa (Sus verruscosus), kelelawar dan lainnya.

Penyelamatan Elang Jawa

Ancaman yang berpotensi menurunkan jumlah populasi Elang Jawa antara lain adalah adanya kerusakan atau hilangnya habitat dan perdagangan. Selain itu, terdapat faktor pembatas lain seperti penggunaan insektisida, berkurangnya pohon-pohon besar dan tinggi untuk bersarang, dan terjadinya inbreeding. Penggunaan insektisida yang terdapat di areal perburuannya, dimungkinkan akan menyebabkan terjadinya akumulasi residu kimia di puncak rantai makanannya. Bila hal ini terjadi, akan mempengaruhi tingkat keberhasilan perkembangbiakan karena cangkang telur menipis. In-breeding seringkali terjadi pada jumlah populasi yang kecil dan terpencil. Hal ini merugikan populasi tersebut karena variasi genetik yang ada akan semakin berkurang, sehingga secara perlahan tapi pasti dapat menurunkan jumlah populasi itu sendiri (Sianipar, 2015).

Untuk mencegah kepunahan satwa yang menjadi maskot nasional ini, langkah utama terpenting dalam upaya penyelamatan adalah membentuk kawasan lindung, salah satunya adalah hutan yang tersisa di hulu Sungai Serayu. Kegiatan pembukaan lahan hutan untuk kepentingan pertanian dan penebangan liar di sekitar hulu Sungai Serayu juga sudah dalam taraf memprihatinkan. Lahan pertanian tembakau dan sayur mayur sudah menjangkau lereng-lereng terjal yang mendekati bibir sungai. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Habitat yang rusak dan terfragmentasi akan semakin mengancam eksistensi satwa tersebut.

Selain itu, perburuan dan perdagangan satwa ini juga harus dihentikan. Elang Jawa selain sebagai maskot nasional juga telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5  tahun 1990, dengan demikian burung Elang Jawa secara mutlak dilindungi di seluruh wilayah RI, baik dalam hal penangkaran, pemilikan maupun perdagangan. Aturan ini harus ditegakan dengan baik.

Selain itu, program konservasi dan restorasi habitat Elang Jawa juga perlu digalakan untuk menjaga habitat mereka. Kemudian, perlu sosialisasi dan kampanye berkesinambungan untuk membuka kesadaran masyarakat bersama-sama melestarikan Elang Jawa.

Dengan demikian, lengkingan Elang Jawa masih akan terdengar anak cucu kita. ’Sang Garuda’ masih bisa terus membentangkan sayapnya, terbang bebas di atas langit Indonesia. Seperti dalam bait sajak karya Raden Mas Noto Soeroto yang dibacakan oleh Presiden Soekarno ketika diminta memberikan nama untuk maskapai penerbangan Indonesia.

Ik ben Garuda, Vishnoe’s vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden” (Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu).

Salam Lestari

Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku

 

Penulis :

Gunanto Eko Saputro, S.Hut, M.Si (Koordinator Bidang Flora dan Fauna, Tim Ekspedisi Serayu 2015)

 

Pustaka :

MacKinnon, J. 1993. Panduan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Gajah Mada University Press. Jogjakarta.

Rakhman, Z. 2012. Garuda : Mitos dan Faktanya di Indonesia. Raptor Indonesia. Bogor.

Setiawan, I., V. Nijman., 2001. Penilaian Sepintas Keragaman Fauna di Pegunungan Dieng [Rapid Assessment of Fauna Diversitiy in Dieng Mountains]. Laporan Akhir [Final Report].YPAl/Mitra Dieng/Gibbon Foundation, Bandung.

Sianipar, H. 2015. Biokonservasi Elang Jawa. www.hermansianipar92blogspot.com. 15 Februari 2015.

Sozer, R., V. Nijman, I. Setawan. 1999. Panduan identifikasi Elang Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi (P3B)-LIPI, DirektoratJenderal Perlingdungan dan Konservasi Alam (PKA)-DEPHUTBUN, Japan International Coorperation Agency (JICA).

Sozer, R., V. Nijman, I. Setiawan, Sebastianus van Balen, D.M. Prawiradilaga, J. Subijanto. 1998. Rencana pemulihan species Elang Jawa. Birdlife International-Indonesia Programme. Bogor.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun