Mohon tunggu...
Ignasius Sabinus Satu
Ignasius Sabinus Satu Mohon Tunggu... -

Staf Pendidik SMPN 1 Bajawa Penggiat literasi dan Rumah Baca, Gerakan Jurnalis Pelajar, Gerakan Literasi Sekolah, AGUPENA.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kegamangan Fast Reading, Butuh Jalan Pulang Slow Reading

19 Maret 2019   14:51 Diperbarui: 19 Maret 2019   15:26 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengakhiri pekan ke-2 lalu dan masuk pekan ke-3, Maret 2018, menemukan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, karena jika dia mati dia menghasilkan banyak buah (Yoh 2:24). Wujud kerelaan dari perumpamaan ini layak kita kita sematkan pada sahabat-sahabat kita yang rendah hati (bukan rendah diri) untuk saling berbagi pengetahuan atau apa saja tentang "kemuliaan sesama", mungkin menurutnya hal biasa, namun bagiku dan bagimu memperoleh banyak manfaat dan juga pada yang kedua adalah selaku subjek kedua mempunyai kerelaan (baca kehebatan) untuk mendengar lebih dan mampu menerima.

Dua kerelaan subjek inilah menurut saya menjadi inti dari biji gandum yang jatuh ketanah dan mati (rela memberi dan berbagi) bagi sesama. Ini juga mungkin perwujudan dari injil Minggu 18/3/2018 sebagai seorang yang mengintegrasiakan diri kedalam keKatolikan bukan saja KTP namun juga Gereja dan bahkan juga jauh dari itu, pada kedalaman Iman yang sebesar biji Sesawi (Matius:13/31-32).

Dua kerelaan di atas, kita dihantar kepada "25 Palma 2018", di situ "Tirai Kenisha" dibuka tentang jumpa dan masuk ke kedalaman pekan suci. Ada nilai "Pengorbanan" yang mula sebagai penghantar cahaya bahwa melakukan perbuatan baik membutuhkan pengorbanan cinta raga dan jiwa. Soal "biji gandum, biji sesawi, dan palma Tuhan", inilah mesti dimengerti bahwa ketulusan cinta yang mendasari semua, tidak ada embel-embel disitu, yang ada hanyalah menghantar kepada kesejatian cinta yakni keterberian diri bagi sesama.

Tiga hal tentang "biji gandum", biji sesawi, dan Palem Yerusalem adalah percuma jika kedalamannya kita enggan untuk dinikmati, padahal kedalaman itu sederhana jika kita paham kebaikan dan muasal kebaikan.

Soal kedalaman ini sangat mempengaruhi kehidupan, jika dangkal maka kelakuan kita dekat pada over akting karena bukan memunculkan karakter kedalaman tapi kedangkalan sedang dipertontonkan dan keterpecah-belah menanti kita.

Masuk pada ranah kedalaman dan kedangkalan, ada dua hal yang menikam sekaligus tawaran berpikir dan melakukan, bahwa memilih kedalaman atau kedangkalan bagi kehidupan. Dua hal ini menghantar kita pada perjumpaan zaman budaya "baca digital" berselancar sejalan dengan "fastreading" dan yang kedua budaya baca bacaan cetak/buku cetak dan sejenisnya yang membutuhkan pikiran berulang/pemahaman yang disebut "slowreading".

Fastreading (membaca cepat) biasa kita lakukan dalam keseharian kita yang juga merupakan kebutuhan. kegiatan membaca yang cepat yang saya maksudkan disini pada cara membaca dalam keadaan sadar dan hal ini mengacu pada pemerolehan informasi dengan cepat. Model membaca cepat biasanya dalam bentuk membaca informatif baik lewat media masa cetak maupun elektronik. 

Dalam media masa cetak membaca cepat mungkin kita lakukan sebatas membaca berita pada harian surat kabar dan lain sebagainya yang berwujud singkat untuk memperoleh informasi dengan secepat-cepatnya. Hari ini bertebaran media digital mulai dari yang paling kecil Handphone sampai pada media digital yang besar tersaji facebook, Google, Tumblr, Twitter, Instagram dan lain sebagainya.

Inilah yang kita alami sebut saja "Tsunami digital", kita tidak bisa pungkiri dan lari pada zaman digital kini.

Banyak sajian dan tawaran menarik dalam media digital yang ditemukan bertebaran dimana-mana. Bentuk penyajian yang kepersuasifan dikemas sebegitu rupa inilah membuat kita jatuh hati, jatuh cinta dalam sekadar bahkan kemudian kita menelantarkan privatisasi kebutuhan kedalaman informasi dan kebenaran.

Pada titik ini bahkan menjadi fenomena adalah menghantar kita pada hoax dan sejenisnya, termasuk wajah bopeng (baca; informasi gelap) yang tidak karuan disodorkan dari dan bagi antero belahan bumi lain juga kita yang kebenaran masih di atas permukaan sebab dengan latar belakang embel-embel untuk kepentingan tertentu bahkan keinginan untuk memecah-belah sangat nampak di situ.

Soal keterbatasan hal fastreading dalam baca digital mungkin masing-masing kita merasakan tentang itu, dan itu kembali kepada pribadi siapa dan merasa apa yang kurang dari sajian digital yang terbatas tersebut.

Dalam media digital juga tersaji buku-buku elktronik yang dalam jumlah tak sedikit hari ini.

Pertanyaannya, mampukah kita membaca dalam jumlah banyak semisal membaca lembar demi lembar? atau membaca kira-kira 150 halaman dengan menggunakan media digital? Mampukah?. Jika mampu tak usah dilanjutkan bacanya, anda sedang mencurahkan pikiran penuh pada digital.
...
Dan kemudian fastreading pada digital hemat saya, ternyata tidak mampu menghantarkan saya pada kedalaman berpikir. Kegiatan fastreading hanya mampu memindahkan fakta kedalam otak tanpa membahas fakta lainnya, atau tanpa berusaha hal-hal yang berkaitan dengan fakta tersebut, kemudian penginderaan dengan informasi-informasi yang berkitan dengannya. Pada fastreading digital Juga tanpa ada usaha mencari informasi-informasi lain yang berkaitan denga fakta karena sajian lembarannya terbatas atau tingkat kejenuhan kita untuk membuka lagi lembar yang telah terlewati, atau sekedar menandai lembar yang sudah kita buka.

Apa kita sedang berada dalam mimpi buruk, tentang kedalaman informasi? Ternyata pikiran kita butuh hal lain lebih dari sekedar fastreading sebagai asupan yang bernilai, bermutu agar masuk sampai pada kedalaman lalu disitu boleh saya katakan akan terjadi manajemen/ tatakelola pikir sehingga terjadi filterisasi tentang apa saja yang diperoleh, pada titik itu ada keluasan daya untuk mengelola dengan bijak terhadap lebih banyak hal dari yang diperoleh dan itu butuh lebih dari fastreading.

Ber-antonim dengan fastreading ada slowreading (membaca lambat), ini yang saya maksudkan adalah membaca dalam keadaan penuh kesadaran, dengan kesengajaan dilakukan untuk memperoleh tidak sebatas informasi tetapi jauh pada kedalaman berpikir terlibat dalam karya. Keterlibatan kita dalam membaca karya buku (buku cetak, dan sejenis tentunya) inilah kita tempatkan slowreading sebagai jembatan titian menuju.

Dalam membaca buku cetak terdapat hal mendalam dalam (mengindera) merasuk suatu fakta dan mendalam dalam informasi yang berkaitan dengan penginderaan tersebut untuk mengetahui suatu fakta. Membaca buku (buku cetak) kita diajak berpikir kemudian juga dilakukan dengan mengulang pencarian informasi-informasi lain disamping informasi-informasi awal yang telah ada. 

Berpikir mendalam dengan membaca buku juga dilakukan dengan mengulang mengaitkan informasi dengan fakta secara lebih banyak dari yang telah dilakukan sebelumnya kepada yang sesudahnya. Baik dengan cara membaca berulang-ulang atau dengan mengulangi kembali tentang apa yang dikaitkan sebelumnya tersebut. Dengan demikian dari tipe membaca dan kemudian penginderaan, mengaitkan seperti ini akan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendalam baik berupa kebenaran maupun bukan kebenaran tentang apa yang diperoleh dari buku cetak.

Dan dengan mengulang-ulang lalu membiasakannya maka akan terwujud proses berpikir secara mendalam.
Berpikir mendalam maksud saya adalah berpikir yang tidak cukup dengan sekedar membaca, penginderaan pertama, informasi yang pertamaa /awal, serta pengaitan yang pertama antara informasi dengan fakta namun berpikir sampai pada kedalaman.

Saya sangat mengalami tata kelola berpikir jauh sangat didapati, ini mempengaruhi manajemen konflik diri.

Memang dunia digital menawarkan banyak keuntungan tetapi jika kita menyerah pada dunia itu sepenuhnya saya dan kita mungkin kehilangan privasi yang kita butuhkan untuk mengembangkan diri dari sekedar membaca di permukaan dangkal.

Jika tawaran slowreading menjadi mutlak maka yang namanya ; "biji gandum, biji sesawi, palma Tuhan" tidak menjadi dangkal.

Aktivitas yang membutuhkan waktu dan perhatian seperti membaca yang serius beresiko kita membaca lebih sedikit dan lebih banyak berselancar karena Internet menempati lebih banyak rongga kehidupan saya dan kita.

Dan ada hubungan antara kedirian dan pembacaan secara perlahan (slowreading) daripada memindai informasi singkat (fastreading) karena digital mendorong kita untuk melakukannya.

Kebutuhan sosiologi dan psikologi menunjukkan bahwa membaca buku, pengalaman pribadi, merupakan aspek penting untuk mengenal siapa diri kita.

Bukan tidak mungkin di negara pencetus digital mereka kembali pada metode slowreading. Mungkin juga ini punya kesamaan pada penerapan kembali ke alam (go organik) pada pertanian di belahan bumi lain yang kini makin ke kita.

Kehebatan dalam kegamangan Fastreading membutuhkan jalan pulang melalu jalan slowreading untuk masuk pada kedalaman menuju PASKAH TUHAN.

"Selamat Menjalani Pekan Tuhan"

Bajawa, 2018.

*Ignasius Sabinus Satu

Staf pengajar, SMPN 1 Bajawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun