Menurut Rianto Wibowo (2024), PLTA diklasifikasikan berdasarkan kapasitas listrik yang dihasilkan, yaitu:
1. PLTA Skala Kecil
PLTA skala kecil memiliki kapasitas hingga 10 MW dan umumnya menggunakan turbin tunggal atau beberapa turbin yang dihubungkan secara paralel. Pembangkit ini sering kali digunakan di daerah-daerah terpencil untuk menyediakan listrik bagi komunitas lokal. PLTA skala kecil terbagi menjadi beberapa jenis:
- Pembangkit Tenaga Pikrohidro (kapasitas hingga 5 kW)
- Pembangkit Tenaga Mikrohidro (kapasitas 5 kW -- 1 MW)
- Pembangkit Tenaga Minihidro (kapasitas 1 MW -- 10 MW)
PLTA skala kecil ini memiliki keunggulan karena biayanya yang lebih murah dan dampak lingkungannya yang lebih rendah, namun tetap bisa memberikan manfaat besar bagi komunitas di sekitar.
2. PLTA Skala Menengah
Pembangkit listrik skala menengah memiliki kapasitas antara 10 MW hingga 50 MW. PLTA jenis ini biasanya melayani daerah-daerah dengan kebutuhan listrik yang lebih besar, seperti kota-kota kecil atau wilayah industri. PLTA ini juga dapat membantu menstabilkan pasokan listrik di daerah yang memiliki permintaan listrik yang fluktuatif, terutama di wilayah dengan aktivitas industri yang padat.
3. PLTA Skala Besar
PLTA skala besar menghasilkan listrik dengan kapasitas lebih dari 50 MW. Pembangkit ini biasanya melayani wilayah yang luas dan berperan penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Pembangunan PLTA skala besar sering kali memerlukan investasi yang sangat besar, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi daerah sekitarnya, seperti pembangunan infrastruktur baru dan penciptaan lapangan kerja.
Manfaat dan Tantangan Energi Hidroelektrik
Menurut Rianto Wibowo (2024), energi hidroelektrik menawarkan sejumlah manfaat yang signifikan, terutama dalam hal ramah lingkungan dan keberlanjutan. Tidak seperti pembangkit listrik dari bahan fosil, PLTA tidak menghasilkan polusi udara atau limbah berbahaya. Biaya operasional PLTA juga relatif rendah karena tidak membutuhkan bahan bakar, dan sumber energinya, yaitu air, selalu tersedia.
Namun, di balik kelebihannya, energi hidroelektrik juga memiliki tantangan tersendiri. Pembangunan bendungan dan infrastruktur PLTA sering kali berdampak pada ekosistem sungai, mengubah habitat alami dan kualitas air. Investasi awal untuk membangun PLTA, terutama bendungan besar, sangat mahal dan butuh waktu yang panjang untuk dibangun. Di Indonesia, salah satu tantangan terbesar adalah pemenuhan perizinan dan proses pembebasan lahan yang sering kali menimbulkan resistensi dari masyarakat lokal. Selain itu, perubahan iklim juga menambah tantangan baru bagi keberlanjutan PLTA, terutama dalam hal ketersediaan air yang mungkin terpengaruh oleh perubahan pola cuaca dan curah hujan. Meski demikian, dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang tepat, energi hidroelektrik tetap menjadi salah satu solusi paling menjanjikan untuk mendukung transisi energi terbarukan di Indonesia.