Dua tiga hari belakangan ini, lini masa Twitter diramaikan dengan perang twit (twitwar) Awkarin dan Nadiya. Bagi yang tidak familiar dengan jagat Twitter, atau tidak mengetahui apa-apa tentang perang twit ini, saya akan coba menjelaskan sedikit tentang kejadian tersebut.
Awkarin adalah seseorang yang mengakui dirinya sebagai influencer. Awalnya, ia aktif di platform Instagram sebelum mulai aktif di Twitter. Drama dan kasus yang menimpanya selalu kontroversial.
Saat awal bergabung di Twitter, dia berhasil memviralkan drama "bayar dengan exposure" ketika ingin mengadakan kegiatan pada suatu cafe dan berjanji membayar ongkos sewa cafe dengan promosi di media sosial.
Tidak lama setelah kasus tersebut reda, Awkarin berubah menjadi orang yang sangat dermawan. Berbagai acara bagi-bagi hadiah (give away) dan membantu warganet yang membutuhkan diadakan. Orang yang awalnya berpandangan negatif tentang dia berbalik menaruh simpati, entah simpati sungguhan atau sekadar mengharap hadiah.
Puncaknya pada rentetan demonstrasi akhir September lalu, Awkarin ikut turun ke jalan. Di sana, dia dan timnya membantu para demonstran dengan membagikan makanan dan turut serta membersihkan jalanan setelah demonstrasi.
Nadiya, di sisi lain, hanyalah seorang pengguna Twitter biasa. Diketahui dia masih kuliah dan bekerja sambilan sebagai desainer grafis.
Kontroversi dimulai saat Nadiya mengungkit postingan Instagram Awkarin. Dalam postingan tersebut, Awkarin menunjukan beberapa ilustrasi dengan inisial namanya. Usut punya usut, ilustrasi tersebut bukan karya Awkarin. Awkarin hanya mencomot gambar tersebut dari Pinterest (yang sudah dia akui sendiri) dan memposting ulang dengan menambah tanda tangannya.
Nadiya, yang mengerti sulitnya kehidupan desainer grafis, meminta Awkarin untuk menghapus postingan tersebut. Gayung bersambut, Awkarin berniat untuk menghapus postingan kontroversial itu. Niat tersebut dia sampaikan dalam bentuk "meminta timnya untuk menghapus".
Sayangnya, kasus tersebut keburu viral sebelum kedua pihak yang bersengketa menyelesaikan masalahnya. Merasa dirugikan, Awkarin mengancam membawa Nadiya ke meja hijau berbekal "kenalan lawyer" yang ia miliki. Agar masalah tidak berlanjut, Awkarin memberi syarat kepada Nadiya agar menghapus twit yang bernada memojokkan dirinya. Dengan tekanan yang diberikan, Nadiya memutuskan untuk menghapus semua twitnya dan rehat dari sosial media.
Influencer: Ketenaran dan Pengaruh adalah Candu
Terlepas dari siapa yang benar dan salah, karena masalah seperti ini sering jatuh ke ranah suka-tidak suka, fenomena influencer di Indonesia terlihat berkembang tidak terlalu sehat. Selain Awkarin, masih banyak influencer lainnya yang eksis di berbagai sosial media. Sebut saja Atta Halilintar, Ria Ricis, Raffi Ahmad, Uya Kuya, dan lain-lain.
Perkembangan influencer saya anggap tidak terlalu sehat karena orientasi kebanyakan influencer adalah meraup untung sebanyak-banyaknya dari konten yang dia buat.Â
Kenyataan tersebut mengarah kepada konten-konten trending yang sarat akan aksi jahil (prank), tantangan tidak jelas, dan drama. Alhasil, kreator-kreator muda yang terinspirasi dari para influencer ikut membuat konten serupa yang, harus diakui, nirfaedah.
Selain itu, mayoritas influencer sosial media berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke atas. Memang tidak dapat dipungkiri kalau ketenaran seseorang di media sosial diawali dengan berapa banyak yang dia punya, bukan seberapa bagus konten yang dia berikan.
Akhirnya, influencer terjebak dalam lingkaran meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk membuat konten yang akan melambungkan namanya, kemudian meraup keuntungan dari konten tersebut dan begitu seterusnya.
Jika ditelusuri lebih lanjut, mungkin kita akan sampai ke akar masalahnya. Tapi tujuan dari tulisan saya adalah memberikan edukasi kepada para influencer media sosial, andai mereka membaca tulisan saya ini.
Belajar kepada Mr Beast
Hari Sabtu lalu, dunia YouTube digemparkan dengan kolaborasi YouTube terbesar sepanjang masa. Ratusan kreator dari seluruh dunia (saya tidak tahu apakah ada yang dari Indonesia) ikut bergabung dalam aksi #TeamTrees, gerakan sosial-lingkungan yang bertujuan menanam 20 juta pohon sebelum tahun 2020.
Singkat cerita, seorang YouTuber dari Amerika, Mr. Beast ditantang oleh para pengikutnya agar menanam 20 juta pohon saat dia mencapai 20 juta subscriber di YouTube. Tantangan, yang berasal dari laman meme di Reddit dan diangkat oleh YouTuber nomor satu dunia PewDiePie dalam salah satu videonya, tersebut ditanggapi serius oleh Mr. Beast.
Bukan sekali ini Mr Beast melakukan hal-hal "gila". Hampir semua video yang dia buat adalah tantangan yang dia berikan kepada timnya sendiri. Tapi, tantangan 20 juta pohon ini merupakan hal paling gila yang bisa mengubah dunia.
Menjelang musim dingin, banyak kebakaran hutan yang terjadi di Amerika disebabkan oleh udara musim gugur yang kering. Kebetulan, Mr Beast mencapai 20 juta subscriber menjelang musim gugur ini. Memegang janjinya untuk menanam 20 juta pohon, dia menggandeng ratusan YouTuber dan membuka laman donasi teamtrees.org.
Untuk mencapai targetnya, Mr Beast menggandeng lembaga swadaya masyarakat Arbor Day Foundation. Arbor Day merupakan lembaga nirlaba yang memiliki spesialisasi di bidang reboisasi hutan di seluruh dunia.
Target 20 juta pohon akan didistribusikan dan ditanam di seluruh penjuru dunia. Sampai hari ini (10.45), #TeamTrees sudah mendapatkan lebih dari 7 juta pohon donasi.
"Influencer-Activist" di Indonesia Kiwari
Di media sosial, ada tiga jenis konten yang memiliki potensi viral besar: konten lucu yang dibutuhkan orang untuk melepas penat, konten drama dan kontroversi hingga orang mampu melepas kekesalannya, dan konten berbagi kebaikan sehingga orang dapat merasakan getaran positif dari kebaikan tersebut.
Sayangnya, influencer di Indonesia masih sering berpaku pada dua konten pertama: lucu dan drama. Mereka lebih sering melakukan kolaborasi antar influencer untuk membuat konten lucu atau drama settingan namun jarang melakukan kolaborasi kebaikan. Jika pun ada, kebanyakan masih mengksploitasi kesulitan orang demi konten tanpa menyentuh akar masalahnya.
Akhirnya, influencer di Indonesia lebih bersifat eksploitatif dan kontra-produktif. Hal itu menyebabkan masih banyak influencer yang gagal memahami akar masalah saat ingin membuat gerakan sosial.
Untuk itu, jika ke depannya influencer ingin mengadakan gerakan sosial, ada baiknya menggandeng lembaga yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Sekali-kali, harusnya influencer yang mendatangi lembaga untuk kebutuhan aktivisme, bukan lembaga yang mendatangi influencer untuk kebutuhan promosi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI