Petugas KPPS pun tidak perlu sibuk menghitung suara karena setiap suara yang masuk akan langsung terkirim ke server KPU dan hasil Pemilu akan langsung keluar begitu pemilihan ditutup. Karena hasil Pemilu dapat segera diketahui, waktu pemungutan suara bisa diperpanjang. Jika dengan surat suara kertas Pemilu harus selesai pukul satu siang, dengan e-voting pemungutan suara bisa dilakukan sepanjang hari bahkan sampai malam.
Dengan e-voting, sistem pemilihan tidak perlu diubah. Untuk DPR dan DPRD, sistem proporsional daftar terbuka masih bisa digunakan dan hasilnya akan langsung ketahuan. Sayangnya, jika e-voting diterapkan, lembaga survei yang kebanjiran pesanan hitung cepat akan gulung tikar karena toh hasilnya akan segera ketahuan. Sisi positifnya, tuduhan curang (dari yang kalah) hanya akan tertuju ke KPU dan bukan ke lembaga survei.
Berkaitan dengan tuduhan curang, masalah terbesar dari penerapan e-voting, selain anggaran yang tentu selangit, adalah transparansi hasil. Saat hasil Pemilu langsung dikirimkan ke server KPU tanpa rekapitulasi berjenjang, masyarakat tidak mampu memantau hasil suara di TPS lokal mereka.Â
Walhasil, tuduhan curang dan tidak netral (mendukung petahana) pasti akan bermunculan. Kesalahan input data pada SITUNG di tahun ini saja ributnya bukan main. Padahal SITUNG bukan hasil resmi Pemilu.
Selain masalah kepercayaan, masalah logistik juga harus dipertimbangkan. Selain penyediaan gawai untuk memilih, akses listrik dan koneksi internet yang memadai juga diperlukan untuk memastikan gawai yang ada berfungsi.Â
Koneksi yang ada pun harus dapat diandalkan karena bisa saja suara masyarakat tidak tersampaikan karena koneksi putus saat memilih. Selain itu, harus ada edukasi untuk pemilih dan petugas yang belum familiar dengan alat elektronik untuk pemilihan.
Opsi 2: Pemilu Dua Babak
Untuk Pemilu dua babak, pemilihan dibagi dua: babak pertama yang berupa pemilihan DPR RI, DPD dan Presiden putaran pertama, lalu babak kedua yang terdiri dari DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden putaran kedua. Dalam hal ini, syarat pencalonan presiden harus diperlonggar dengan menghapuskan ambang batas kepresidenan (Presidential Threshold/PT) yang pada Pemilu ini ditetapkan 20% kursi di DPR RI periode sebelumnya.
Penghapusan PT sebenarnya sudah digaungkan sebelum Pemilu 2019. Sayangnya gugatan penghapusan tersebut tidak disetujui MK sehingga Pilpres tahun ini kembali diikuti oleh dua wajah lama yang sudah kita kenal baik. Dengan dihapuskannya PT, jumlah calon yang muncul pasti akan lebih banyak dan kemungkinan satu calon menang satu putaran semakin kecil.
Di lapangan, teknis pemungutan suara tetap sama: menggunakan surat suara kertas dan dihitung manual berjenjang. Tapi, dengan jumlah kotak suara yang berkurang, beban kerja petugas lapangan ikut berkurang. Melihat Pemilu kemarin, penghitungan tiga kotak suara pertama (presiden, DPR RI dan DPD) dapat selesai sebelum pukul sepuluh malam.
Untuk memudahkan penghitungan, sistem pemilu proporsional daftar terbuka bisa diubah ke daftar tertutup. Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya memilih partai politik saja tanpa memilih calon dari partai tersebut.Â
Tanggung jawab pemilihan calon berada di tangan partai yang terpilih, sehingga jika pada kemudian hari terdapat pelanggaran oleh calon tersebut, kesalahan dapat dijatuhkan ke partai yang memilihnya. Partai tidak bisa berkelit dengan berkata bahwa itu adalah "oknum" karena toh mereka sendiri yang mengajukannya, bukan rakyat yang memilih.