Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Setelah 2019 "Kacau", Bagaimana Pemilu 2024?

29 April 2019   10:48 Diperbarui: 29 April 2019   11:31 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu (sumber: kompas.com)

Judul yang saya buat mungkin agak sedikit tendensius. Tapi, melihat sudah ratusan petugas menjadi korban, tidak bisa dipungkiri kalau Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 memang kacau. Keinginan untuk menghemat anggaran dengan merapel Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) justru harus dibayar dengan jatuhnya korban jiwa. Kompensasi terhadap korban pun terhambat birokrasi karena peraturan KPU tidak memiliki pasal untuk mengantisipasi hal ini.

Melihat hal tersebut, patutlah kita berfikir kembali: 

Haruskah Pemilu serentak kembali dilaksanakan di periode berikutnya?

Sebelum memikirkan jauh lima tahun ke depan, mari kita lihat apa yang sudah terjadi pertengahan bulan ini.

Pemilu 2019 menggabungkan Pileg dan Pilpres dalam satu waktu. Alhasil, pemilih mendapatkan lima surat suara (capres-cawapres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupate/Kota) yang harus dicoblos. Petugas KPPS pun harus menghitung lima-kali-jumlah-pemilih surat suara. Penghitungan yang wajib dilaksanakan setelah pemilihan tanpa jeda membuat petugas KPPS bekerja sampai larut malam.

Resiko kerja lembur yang tidak diperhitungkan KPU ini mengakibatkan banyak petugas kelelahan dan sebagian meninggal dunia. Di tingkatan lebih tinggi, beban kerja yang diterima juga lebih besar. Di tingkat kecamatn (PPK), misalnya, jumlah TPS yang lebih banyak dari sebelumnya (karena jumlah maksimum DPT setiap TPS dikurangi) membuat proses rekapitulasi menjadi lebih lambat. 

Di tingkat kabupaten/kota, petugas input data ke Sistem Penghitungan (SITUNG) KPU jamak melakukan kesalahan sehingga muncul tuduhan kecurangan dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, penyebab kacaunya Pemilu tahun ini adalah beban kerja yang terlalu berat untuk para petugas. Beban tersebut muncul karena penggabungan lima pemilihan dalam satu waktu. Untuk mengurai masalah tersebut, setidaknya ada empat opsi yang ditawarkan oleh @revolutia di akun Twitter-nya:

Opsi 1: e-voting

E-voting memang menjadi solusi paling menarik dan paling efisien untuk mengatasi masalah Pemilu di Indonesia. Petugas KPPS tidak perlu capek-capek menuliskan dan menyebarkan undangan memilih karena KTP elektronik berfungsi sebagai kartu pemilih. Ketika memilih, data di KTP kita direkam dan tidak bisa memilih lagi di Pemilu itu.

Saat memilih, pemilih tidak perlu repot-repot membuka dan melipat kembali kertas suara karena pemilih hanya perlu menekan tombol di layar gawai yang tersedia. Sistem ini juga lebih ramah disabilitas, terutama tuna netra, karena gawai bisa dihubungkan dengan perangkat suara untuk memandu pemilih tuna netra.

Petugas KPPS pun tidak perlu sibuk menghitung suara karena setiap suara yang masuk akan langsung terkirim ke server KPU dan hasil Pemilu akan langsung keluar begitu pemilihan ditutup. Karena hasil Pemilu dapat segera diketahui, waktu pemungutan suara bisa diperpanjang. Jika dengan surat suara kertas Pemilu harus selesai pukul satu siang, dengan e-voting pemungutan suara bisa dilakukan sepanjang hari bahkan sampai malam.

Dengan e-voting, sistem pemilihan tidak perlu diubah. Untuk DPR dan DPRD, sistem proporsional daftar terbuka masih bisa digunakan dan hasilnya akan langsung ketahuan. Sayangnya, jika e-voting diterapkan, lembaga survei yang kebanjiran pesanan hitung cepat akan gulung tikar karena toh hasilnya akan segera ketahuan. Sisi positifnya, tuduhan curang (dari yang kalah) hanya akan tertuju ke KPU dan bukan ke lembaga survei.

Berkaitan dengan tuduhan curang, masalah terbesar dari penerapan e-voting, selain anggaran yang tentu selangit, adalah transparansi hasil. Saat hasil Pemilu langsung dikirimkan ke server KPU tanpa rekapitulasi berjenjang, masyarakat tidak mampu memantau hasil suara di TPS lokal mereka. 

Walhasil, tuduhan curang dan tidak netral (mendukung petahana) pasti akan bermunculan. Kesalahan input data pada SITUNG di tahun ini saja ributnya bukan main. Padahal SITUNG bukan hasil resmi Pemilu.

Selain masalah kepercayaan, masalah logistik juga harus dipertimbangkan. Selain penyediaan gawai untuk memilih, akses listrik dan koneksi internet yang memadai juga diperlukan untuk memastikan gawai yang ada berfungsi. 

Koneksi yang ada pun harus dapat diandalkan karena bisa saja suara masyarakat tidak tersampaikan karena koneksi putus saat memilih. Selain itu, harus ada edukasi untuk pemilih dan petugas yang belum familiar dengan alat elektronik untuk pemilihan.

Opsi 2: Pemilu Dua Babak

Untuk Pemilu dua babak, pemilihan dibagi dua: babak pertama yang berupa pemilihan DPR RI, DPD dan Presiden putaran pertama, lalu babak kedua yang terdiri dari DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden putaran kedua. Dalam hal ini, syarat pencalonan presiden harus diperlonggar dengan menghapuskan ambang batas kepresidenan (Presidential Threshold/PT) yang pada Pemilu ini ditetapkan 20% kursi di DPR RI periode sebelumnya.

Penghapusan PT sebenarnya sudah digaungkan sebelum Pemilu 2019. Sayangnya gugatan penghapusan tersebut tidak disetujui MK sehingga Pilpres tahun ini kembali diikuti oleh dua wajah lama yang sudah kita kenal baik. Dengan dihapuskannya PT, jumlah calon yang muncul pasti akan lebih banyak dan kemungkinan satu calon menang satu putaran semakin kecil.

Di lapangan, teknis pemungutan suara tetap sama: menggunakan surat suara kertas dan dihitung manual berjenjang. Tapi, dengan jumlah kotak suara yang berkurang, beban kerja petugas lapangan ikut berkurang. Melihat Pemilu kemarin, penghitungan tiga kotak suara pertama (presiden, DPR RI dan DPD) dapat selesai sebelum pukul sepuluh malam.

Untuk memudahkan penghitungan, sistem pemilu proporsional daftar terbuka bisa diubah ke daftar tertutup. Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya memilih partai politik saja tanpa memilih calon dari partai tersebut. 

Tanggung jawab pemilihan calon berada di tangan partai yang terpilih, sehingga jika pada kemudian hari terdapat pelanggaran oleh calon tersebut, kesalahan dapat dijatuhkan ke partai yang memilihnya. Partai tidak bisa berkelit dengan berkata bahwa itu adalah "oknum" karena toh mereka sendiri yang mengajukannya, bukan rakyat yang memilih.

Dua babak Pemilu juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas peserta. Penghapusan PT akan memberikan pilihan presiden yang lebih variatif. Sedangkan mengubah pemilu daftar terbuka ke daftar tertutup membesarkan tanggung jawab parpol pada anggota dewan yang mereka pilih untuk maju ke parlemen.

Opsi 3: Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal

Dari empat opsi yang ditawarkan @revolutia, opsi ketiga ini yang paling menarik perhatian saya. Opsi ini menawarkan pemilihan legislatif dan eksekutif dilakukan bersamaan sesuai tingkatan. Berarti, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan DPR RI dan DPD, Pilgub bersama pemilihan DPRD Provinsi, dan Pilbup/Pilwalkot bersama DPRD Kabupaten/Kota.

Opsi ketiga ini muncul berkenaan dengan wacana perapelan akbar Pilpres, Pileg, dan Pilkada pada tahun 2024. Jika wacana itu jadi dilaksakan, kemungkinan proses penghitungan suara di TPS bisa berlangsung sampai dua hari dua malam. Untuk menyederhanakannya, pemilihan bisa dibagi seperti di atas.

Pemilu Lokal dilaksanakan antara dua Pemilu Nasional. Jika menggunakan kalender saat ini di mana Pemilu Nasional dilaksanakan bulan April lima tahun sekali, dua Pemilu Lokal harus dilaksanakan dalam jangka waktu 20 bulan antara Pemilu. 

Sebagai contoh, jika Pemilu Nasional dilaksanakan bulan April 2024, maka Pemilu Lokal Provinsi dilaksanakan Desember 2025 dan Pemilu Lokal Kabupaten/Kota pada Agustus 2027.

Namun, melihat masyarakat kita yang belum terlalu melek politik, menambah frekuensi pemilihan justru meningkatkan potensi konflik. Berbeda dengan Amerika Serikat yang melakukan pemilihan setiap dua tahun sekali, Indonesia saya rasa belum cukup dewasa untuk melakukan pemilihan dalam rentang waktu yang terlalu dekat. Kendati demikian, pelaksanaan Pilkada 2017, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bisa menjadi cermin untuk pelaksanaan opsi ketiga ini.

Opsi 4: Istirahat Wajib

Opsi keempat ini merupakan opsi paling malas menurut saya. Karena untuk menerapkannya, KPU hanya perlu mengubah teknis pemungutan suara. Secara garis besar, Pemilu tetap dilaksanakan seperti kemarin. 

Namun, petugas KPPS wajib beristirahat sebelum melakukan penghitungan suara. Istirahat dapat berupa jeda antara pemungutan dan penghitungan atau antar penghitungan, bisa juga berupa batas waktu kerja dalam satu hari (misalkan maksimal 8 jam kerja/hari).

Pemungutan suara di tingkat bawah pasti akan berjalan lebih lambat dan potensi kecurangan menjadi besar. Tapi, kesehatan petugas lapangan akan lebih terjamin dengan jam kerja yang lebih manusiawi. Pengawasan di TPS harus ditingkatkan mengingat potensi kecurangan paling besar (dan paling mungkin) adalah di tingkat TPS.

Dari keempat opsi di atas, opsi mana yang paling jamaah Kompasiana inginkan untuk dilaksanakan tahun 2024?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun