Saya sempatkan waktu menulis artikel ini sembari istirahat belajar menjelang UTS besok pagi. Tulisan ini bukan apa-apa, hanya curahan hati yang berkecamuk dalam pikiran mahasiswa biasa ini.
Sebagai masyarakat "modern" abad 21, kehidupan kita tidak pernah lepas dari lini masa media sosial, kepala berita media cetak maupun elektronik, juga acara-acara televisi. Setiap kali saya menengok salah satu dari banyak media tersebut, entah kenapa saya selalu melihat topik tentang Pilkada DKI 2017, baik yang bernada positif, negatif atau 'berusaha' netral.
Saya tidak ada urusan 'langsung' terhadap Pilkada DKI 2017. Daerah domisili saya saat ini, Sleman, sudah melaksanakan Pilkada tahun lalu. Provinsi saya saat ini, DIY, tidak perlu ribut-ribut Pilkada karena Gubernur dan Wakil Gubernurnya sudah pasti Hamengkubuwono dan Pakualam. Daerah asal saya pun, entah Bandung maupun Jawa Barat, baru akan memilih pada tahun 2018.
Yang membuat tangan saya gatal untuk menulis adalah karena, entah mengapa, lini masa media sosial, kepala berita surat kabar maupun berita utama televisi, acap kali menayangkan ulasan Pilkada DKI. Bahkan, sampai saat ini, saya tidak tahu nomor urut pasangan calon walikota-wakil walikota Yogyakarta yang pemilihannya bersamaan dengan Pilkada DKI.
Sepertinya, Pilkada DKI memang menjadi acara tarung politik terseru kedua setelah Pilpres. Ditambah dengan munculnya media sosial yang aktif digunakan untuk mempromosikan atau mendiskreditkan salah satu pasangan cagub-cawagub.
Apakah kita siap untuk itu semua?
Sebenarnya keresahan saya sudah muncul pada saat pilpres 2014 lalu, ketika pasangan Prabowo-Hatta berhadapan dengan Jokowi-JK. Keresahan saya mungkin tidak seperti keresahan warga Amerika yang menanti pemilu presiden, dimana calon presidennya saling menjatuhkan. Hubungan Prabowo-Jokowi, di mata saya, terlihat baik-baik saja. Yang saya resahkan, bahkan sampai saat ini, adalah pendukung kedua pihak yang sampai saat ini tidak bisa menyatukan pendapat dan setuju untuk satu tujuan.
Apakah kita siap untuk itu semua?
Sebagai pemilih pemula di Pileg dan Pilpres 2014, saya berusaha mencari data dan fakta tentang calon wakil rakyat dan pemimpin yang akan saya pilih. Dalam Pileg, saya sedikit sekali menemukan pemberitaan tentang program-program yang ditawarkan oleh para calon ataupun parpol. Acap kali saya temukan hanyalah citra buruk yang dilemparkan satu pihak kepada pihak lain, entah tentang partai terkorup, partai terculas, dan lain-lain.
Dilanjutkan dengan pemilu presiden yang tidak kalah ramai, bahkan lebih ramai. Ramai kampanye negatif, kampanye hitam (black campaign), yang justru menonjolkan keburukan suatu calon dibandingkan kelebihannya, sehingga acuan memilih kita adalah memilih yang lebih sedikit keburukannya, bukan memilih yang lebih banyak kebaikannya. Kenapa? Karena kita lebih disodorkan oleh segudang keburukan dan bukannya segudang kebaikan.
Apakah kita siap untuk itu semua?
Siapkah kita untuk berdemokrasi dengan sebenar-benarnya demokrasi? Siapkah kita untuk menjadi negara yang lebih baik dengan saratnya kebaikan pemimpin kita? Siapkah kita untuk mempromosikan kebaikan calon dukungan kita dan berhenti menyebarkan keburukan lawan calon dukungan kita?
Kalau kita sudah siap, saya yakin Indonesia akan lebih dewasa berdemokrasi.
Karena demokrasi bukanlah mencari siapa yang baik ataupun buruk, tapi demokrasi mencari siapa yang paling disenangi oleh rakyat. Sebaik apa pun pilihan kita, kalau masih ada yang menyebarkan hal buruk tentangnya, dia tidak akan bisa fokus memajukan bangsa karena sibuk memperbaiki citra.
Mari memilih berdasarkan kebaikan, bukan tidak memilih berdasarkan keburukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H