Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Memilih Berdasarkan Kebaikan", Bukan "Tidak Memilih Berdasarkan Keburukan"

26 Oktober 2016   22:37 Diperbarui: 26 Oktober 2016   22:43 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sempatkan waktu menulis artikel ini sembari istirahat belajar menjelang UTS besok pagi. Tulisan ini bukan apa-apa, hanya curahan hati yang berkecamuk dalam pikiran mahasiswa biasa ini.

Sebagai masyarakat "modern" abad 21, kehidupan kita tidak pernah lepas dari lini masa media sosial, kepala berita media cetak maupun elektronik, juga acara-acara televisi. Setiap kali saya menengok salah satu dari banyak media tersebut, entah kenapa saya selalu melihat topik tentang Pilkada DKI 2017, baik yang bernada positif, negatif atau 'berusaha' netral.

Saya tidak ada urusan 'langsung' terhadap Pilkada DKI 2017. Daerah domisili saya saat ini, Sleman, sudah melaksanakan Pilkada tahun lalu. Provinsi saya saat ini, DIY, tidak perlu ribut-ribut Pilkada karena Gubernur dan Wakil Gubernurnya sudah pasti Hamengkubuwono dan Pakualam. Daerah asal saya pun, entah Bandung maupun Jawa Barat, baru akan memilih pada tahun 2018.

Yang membuat tangan saya gatal untuk menulis adalah karena, entah mengapa, lini masa media sosial, kepala berita surat kabar maupun berita utama televisi, acap kali menayangkan ulasan Pilkada DKI. Bahkan, sampai saat ini, saya tidak tahu nomor urut pasangan calon walikota-wakil walikota Yogyakarta yang pemilihannya bersamaan dengan Pilkada DKI.

Sepertinya, Pilkada DKI memang menjadi acara tarung politik terseru kedua setelah Pilpres. Ditambah dengan munculnya media sosial yang aktif digunakan untuk mempromosikan atau mendiskreditkan salah satu pasangan cagub-cawagub.

Apakah kita siap untuk itu semua?

Sebenarnya keresahan saya sudah muncul pada saat pilpres 2014 lalu, ketika pasangan Prabowo-Hatta berhadapan dengan Jokowi-JK. Keresahan saya mungkin tidak seperti keresahan warga Amerika yang menanti pemilu presiden, dimana calon presidennya saling menjatuhkan. Hubungan Prabowo-Jokowi, di mata saya, terlihat baik-baik saja. Yang saya resahkan, bahkan sampai saat ini, adalah pendukung kedua pihak yang sampai saat ini tidak bisa menyatukan pendapat dan setuju untuk satu tujuan.

Apakah kita siap untuk itu semua?

Sebagai pemilih pemula di Pileg dan Pilpres 2014, saya berusaha mencari data dan fakta tentang calon wakil rakyat dan pemimpin yang akan saya pilih. Dalam Pileg, saya sedikit sekali menemukan pemberitaan tentang program-program yang ditawarkan oleh para calon ataupun parpol. Acap kali saya temukan hanyalah citra buruk yang dilemparkan satu pihak kepada pihak lain, entah tentang partai terkorup, partai terculas, dan lain-lain.

Dilanjutkan dengan pemilu presiden yang tidak kalah ramai, bahkan lebih ramai. Ramai kampanye negatif, kampanye hitam (black campaign), yang justru menonjolkan keburukan suatu calon dibandingkan kelebihannya, sehingga acuan memilih kita adalah memilih yang lebih sedikit keburukannya, bukan memilih yang lebih banyak kebaikannya. Kenapa? Karena kita lebih disodorkan oleh segudang keburukan dan bukannya segudang kebaikan.

Apakah kita siap untuk itu semua?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun