Kamipun kembali lagi pulang ke rumah setelah melihat kondisi toko kami yang sudah benar-benar habis. Tak ada barang-barang yang bisa diselamatkan.
Merasa ada sedikit trauma untuk kembali membuka usaha apalagi di tengah kondisi seperti ini. Belum tentu bisa cepat pulih kembali.
Berita-berita melalui siaran televisi menggambarkan betapa parahnya kondisi kota Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Semua aktivitas masyarakat lumpuh. Situasi politik bergejolak. Kondisi chaos. Aparat keamanan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengendalikan situasi. Kerusuhan dan aksi demonstrasi merebak dimana-mana. Sistem perbankan lumpuh. Untuk mengambil uang di ATM pun kita harus antri panjang dan dibatasi maksimal hanya bisa menarik satu juta Rupiah saja dan itu pun tidak di semua ATM bisa dilakukan penarikan.
Tanggal 15 Mei 1998 sore hari. Panglima Kodam Jaya  beserta jajarannya baru mulai terlihat berkonvoi dengan beberapa kendaraan panser di jalanan ibukota untuk memantau situasi keamanan.
Penjarahan dan pembakaran sudah mulai tampak reda tapi perasaan takut masih menghantui kami semua. Di mana-mana hanya terlihat onggokan puing-puing kendaraan terbakar dan bangunan-bangunan menghitam bekas kebakaran.
Kami tiduran di kasur lipat yang dipinjamkan oleh saudaraku. Terasa badan sangat lelah sekali apalagi dalam dua hari terakhir tidak bisa tidur dikarenakan harus berjaga-jaga di dalam komplek perumahan.
"Sudahlah jangan kita pikirkan lagi kejadian kemarin, kita mulai lagi, yang penting keluarga kita semua selamat," kataku terus menenangkan istriku.
Anak-anak sudah tertidur lelap. Mungkin mereka pun belum begitu memahami kondisi yang terjadi.
"Jika kondisi masih belum pulih mungkin sebaiknya kamu dan anak-anak pulang dulu ke Bangka supaya anak-anak kita bisa bersekolah dulu di sana, sambil menunggu kondisi kembali aman," kataku kepada istri.
Dia hanya terdiam saja tanpa bisa berkata apa-apa.
"Nanti aku antarkan kalian pulang ke Bangka setelah itu aku kembali lagi ke sini sambil cari-cari kerja apa untuk biaya hidup kita nanti."