Tak ada yang mengira jika kejadian tersebut bisa membawa trauma yang begitu mendalam khususnya bagi para korban yang mengalaminya. Termasuk keluarga kami.
Bermula dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa di Kampus Trisakti Jakarta yang menuntut Pemerintah untuk segera menyelesaikan krisis finansial yang sudah berlangsung sejak tahun 1997. Â
Awalnya demonstrasi tersebut berjalan dengan lancar dan tertib. Seperti biasanya mahasiswa meneriakkan tuntutannya kepada Pemerintah. Aparat keamanan pun menjaga keamanan dengan barikade kawat berduri agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ternyata demonstrasi terus berlanjut dengan pembakaran ban-ban mobil di jalanan dan itupun masih bisa dikendalikan oleh aparat keamanan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 demonstrasi berubah menjadi sebuah kerusuhan setelah 4 orang mahasiswa yang sedang berdemonstrasi tewas tertembak aparat di dalam lingkungan kampus Trisakti. Kondisi semakin memanas dan mulai tak terkendali.
Kemudian kerusuhan terus menjalar mulai dari pembakaran pom bensin yang terletak di Jalan Raya Grogol dan terus bergerak ke wilayah lainnya khususnya di kawasan pusat perdagangan Pecinan seperti di Glodok dan Jembatan Lima.
Kerusuhan sulit dihentikan karena sudah melibatkan masyarakat luas dengan tuntutan yang lebih serius lagi yaitu tuntutan untuk menurunkan pemerintahan yang sah yaitu Pemerintahan Orde Baru.
Tanggal 13 Mei, kerusuhan terus berlanjut dan bergerak begitu cepat dan meluas ke hampir seluruh wilayah Ibukota.
Aku terus memantau kejadian tersebut melalui siaran televisi dan juga radio Sonora yang secara terus menerus menyiarkan detik demi detik kerusuhan tersebut baik siang maupun malam hari.
Terasa ada sedikit kekhawatiran atas kejadian yang tidak terkendali tersebut. Namun aku berpikir masih terlalu jauh untuk bisa merambat hingga ke kota Tangerang.
"Waduh...Jakarta tambah rusuh...dimana-mana orang demo!"