"Tukang parkir dan abang-abang becak yang setiap hari nongkrong di depan sini pun ikut-ikutan menjarah dan membawa barang-barang jarahan tersebut," tambah mereka lagi.
Sambil mendengarnya aku geleng-geleng kepala serasa masih dalam mimpi. Aku melihat puing-puing yang masih tersisa di dalam toko kami. Etalase kaca yang pecah berantakan dan berhamburan di lantai. Masih terlihat adanya ceceran darah yang sudah mengering bekas para penjarah yang mungkin saling berebutan barang-barang kami kemarin. Rak-rak yang berbahan kayu habis terbakar.
Kami naik ke lantai dua melihat kemungkinan masih adakah barang-barang yang tersisa. Ternyata semua ludes dijarah mulai dari tempat tidur, sofa, lemari pakaian, kompor gas, kulkas dan banyak lagi yang lainnya.
"Gak habis pikir gimana mereka menurunkannya begitu cepat padahal dulu kita begitu sulit untuk menaikkannya ke lantai dua," kataku lirih.
Tampak sedih di wajah istriku.
"Kita kerja setengah mati setiap hari, siang dan malam, sekarang ludes dalam waktu sesaat," jawab istriku pelan.
Terlihat butiran bening mengalir dari sudut matanya.
Ada perasaan jengkel, marah, sedih, putus asa semua berkecamuk menjadi satu. Memikirkan usaha apalagi yang harus dilakukan setelah ini. Kita baru saja memulai usaha semua hancur tak berbekas.
"Ayo kita kembali lagi ke rumah!" ajakku kepada istriku.
"Tak perlu kita sesali lagi. Biarkanlah mereka menikmati barang-barang jarahan dari kita. Belum tentu hidup mereka nanti lebih baik dari kita."
Dalam hati aku menahan rasa amarah yang teramat sangat seolah tak terima dengan perlakuan seperti itu. Â